"Sepertinya mulai sekarang aku harus lebih menyibukkan diriku lagi. Aku tak ingin punya waktu senggang meski hanya sebentar", katanya tegas sambil menghisap batang rokoknya yang tinggal seruas jari itu.
"Loh, kenapa? Kamu nggak takut kecapekan terus sakit?", balasku heran.
"Nggak, kenapa takut? Kalau memang sudah lelah, biar saja sekalian sampai aku mampus. Aku lebih lelah harus memikirkannya setiap kali ada waktu kosong. Membuatku semakin gila dan sesak. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan mati semudah itu"
Aku masih terdiam, mencerna kata-katanya barusan. Sepertinya dia memang memerlukannya.
"Tapi kamu nggak perlu sampai memaksakan dirimu begitu, masih banyak perempuan baik diluar sana yang mau menerima dan menghargaimu apa adanya", termasuk aku. Sial, yang terakhir hanya tertahan dalam nafas.
"Makasih, Sa. Kamu selalu peduli denganku. Tapi aku sudah terlalu lelah berdebat dengan hatiku sendiri, biarlah nanti hatiku membusuk lalu mati. Toh, tak akan ada yang menangisinya, kan?", dia tersenyum. Aku tahu, senyumnya terlalu dipaksakan. Jauh didalamnya, ia terluka. Apakah kamu tidak sadar, bahwa aku yang akan menangisimu. Menangisi kepergian hatimu, karena sudah terlanjur kau kunci rapat-rapat.
"Sudah malam, Sa. Aku pamit dulu", kemudian aku hanya melihat punggungnya yang menghilang ditelan pintu.
Kalau kamu hanya menjadikanku halte untuk singgah, aku tak apa
Kalau kamu hanya menjadikanku persembunyian sementaramu, aku terima
Kalau kamu hanya anggap aku tempat ceritamu, ya aku tak masalah
Sudah biasa, dan aku sudah kuat, semoga
Tapi kalau kamu menganggapku sebagai rumahmu dan tempat kembalimu, ya sudah tentu aku mau dan aku terima
Lha rejeki masa' mau ditolak, kan bodoh itu namanya


Penyair Gadungan
Written By Yus. Powered by Blogger.