Pada kenyataannya, aku memang belum layak mendampingimu
Karena waktu tega menggerus semua anganku lebih dulu
Toh semua yang kuusahakan untukmu hanya kau pandang seperlunya saja
Kemudian kau berpaling dan kembali kepadanya
Ah, sampai kapanpun aku ini memang bodoh
Bodoh karena terlalu melangit
Barangkali sekarang aku takut ketinggian
Sebab sering kutaruh angan terlalu tinggi
Bahkan menatapmu pun tak ada kuasa
Hanya doa dan mimpi yang mau bersiasat
Membantuku memelukmu dalam gelap
Ternyata jauh itu bukan melulu perkara jarak
Tapi juga urusan hati dan logika
Meski kau dekat, jika pintumu memang hanya untuknya
Aku disini hanya bisa memandang dikejauhan
Karena tak mungkin kumasuk lewat jendela
Macam kucing basah yang lapar
Kuharap kau baik-baik saja disana
Kalau dia menyakitimu lagi, bilang saja
Biar aku yang hapus dukamu
Entah sampai kapan, tapi aku masih untukmu
Semoga hujan malam ini mau melunturkan sedikit anganku tentangmu
Dan membawanya hanyut jauh dibawah tempatku berdiam

Halte, Menjelang Jumat
Kuberi tahu salah satu bentuk egois:

Yaitu ketika kau terlampau mendahulukan orang lain ketimbang dirimu sendiri, bahkan dalam perkara perasaan. Lalu kau menyiksa batinmu sendiri, membiarkannya terluka hingga hatimu mati dan menjadi beku. Hati juga punya hak untuk mengecap bahagia dan belajar tentang kebaikan dari hati yang lain. Itu bukan lagi berkorban, tapi bodoh namanya.
Entah, tapi di kamusku dijelaskan seperti itu. Kalian tak suka, aku tak peduli. Terserahmu saja.

Berharap memang selalu menimbulkan luka
Dan manusia setiap hari melukai dirinya dengan harapan harapan
Maka aku disini melukai hatiku dengan berangan tentangmu
Angan yang mungkin hanya menjadi angin
Padahal aku tahu, selamanya kau hanya menginginkannya
Ia yang bahkan hanya bisa melukaimu
Dan aku disini yang membalut semua sakitmu
Maukah kau membuka mata sejenak dan menoleh kebelakang
Akan kau dapati ku tersenyum menanti
Oh biarkan, biarkan si pandir bodoh ini bernyanyi
Melagukan kekalahan telak melawan harapan
Toh lusa, hujan masih turun
Semoga, anganku luntur bersama rintiknya

Tidurlah, hari sudah larut
Sebentar lagi subuh menjelang
Tidurlah, lupakan segala penatmu
Rebahkan kepalamu di dadaku
Sisihkan sejenak dukamu
Biarkan aku mendongeng untukmu
Sebuah dongeng yang kau suka
Bermimpilah, biarkan aku yang menjaga ragamu
Akan kupeluk semua luka basah itu
Agar tetap hangat kau meski badai turun
Semoga, embun yang hinggap di bingkai dapat menyegarkanmu
Atau, biar aku saja yang membangunkanmu dengan satu kecup

Entah aku yang bodoh atau memang kau yang begitu mempesona, yang aku tahu senyum kecilmu tanpa sengaja membuat jantungku berdetak kencang. Memang tak kutemukan hal istimewa darimu, tapi kesederhanaan dan kepolosanmu mewarnai hidup telah menjadi magnet besar yang menarik hatiku kedalamnya. Maka, jika kau berkenan, bolehkah aku ikut mewarnai harimu? Maaf jika kemudian isanku terlalu lancang lantas meneriakkan namamu dipuncak gunung. Semoga kabut pagi mau membersihkan dosaku karena mengagumimu

Dalam hidup ada banyak hal yang tak bisa kita hindari. Seperti cinta dan kehilangan, misalnya. Bahwa kita tak pernah tahu bahwa cinta selalu datang tiba-tiba, sebelum akhirnya kita sadar. Dan bahwa kita tak harus memiliki untuk merasakan kehilangan. Juga kenyataan lain bahwa manusia dapat mendadak bijak ketika sedang kehilangan.

-Stasiun Kereta, Menjelang Subuh

Written By Yus. Powered by Blogger.