Sekarang aku mengerti, kenapa kadang seseorang harus menjadi egois. Sebenarnya, bukan karena ia ingin menjadi egois dan mengabaikan semuanya. Tapi, ia hanya butuh waktu sejenak untuk melupakan semua penat yang menggantung dipundak dan kembali menjadi pribadi yang lepas dari segala macam 'rasa tanggung jawab' untuk melayani semua orang yang ada disekitarnya.

Aku ingin sekali menjadi manusia egois, cukup saat ini. Setelahnya, aku akan kembali menjadi yang semua orang pikirkan. Setidaknya beri aku waktu hanya untuk membahagiakan diriku sendiri, sekali ini saja. Kumohon, aku sudah tak tahan lagi. Sudah terlalu lama aku hidup memikirkan bagaimana caranya membahagiakan semua orang hingga aku lupa sebenarnya apa yang aku sukai, apa yang aku inginkan, bahkan aku lupa bagaimana caranya membahagiakan 'aku'.

Kumohon, aku tak pernah meminta ini-itu kepadamu. Aku tak pernah menyuruhmu melakukan hal yang tak kau inginkan. Hanya untuk kali ini saja, sekali ini saja, izinkan aku menjadi egois. Izinkan aku untuk kembali mengosongkan kepala dan hatiku dari semua kepenatan dunia ini, dan melepas semua beban yang ada dipundakku ini. Setelahnya, aku akan kembali kepadamu. Aku akan kembali menjadi apa yang kau mau, menjadi budak yang selalu kau suruh ini itu. Aku pastikan aku sudah siap saat aku kembali.


Izinkan aku melihat pantai sendirian, menjelajah gunung sendirian, menyeberangi laut sendirian, berlari sendirian, duduk sendirian, bahkan tertawa sendirian. Biarkan aku menjadi gila. Toh aku memang sudah gila. Hanya saja aku sedang berpura-pura menjadi orang waras agar tidak ketahuan. Tapi aku berani jamin, setelah aku menjadi gila, aku akan lebih waras dari sebelumnya. Untuk kali ini saja, izinkan aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku benar-benar sudah tak sanggup lagi. 
Yang membuat perpisahan begitu memilukan -tidak, sebenarnya menyakitkan - adalah ketika semua sudah tak lagi sama. Tak ada lagi tempat berbagi dan bercerita. Hilang sudah ritual khusus yang hanya dimiliki berdua, begitu pula kebiasaan-kebiasaan yang mulai ada sejak membangun 'kita'. Yang tersisa sekarang hanya kenangan, bukti sejarah dan dirimu sendiri disudut kamar gelap.

Meski begitu, perpisahan bukanlah hal yang harus ditakuti, sebab manusia memang tak pernah bisa lepas dari yang namanya perpisahan dan kehilangan, bukan? Berpisah dengan mimpi-mimpi yang tak tergapai, dengan keluarga, bahkan dengan orang yang kita duga adalah belahan jiwa. Sakit memang, karena setiap perpisahan selalu diiringi oleh luka. Tapi, hei, bukankah tak ada yang abadi di dunia ini? Bahkan alam semesta inipun akan hancur suatu saat nanti.

Dalam hidup, selalu ada proses daur ulang. Setiap yang datang, pasti akan pergi. Atau keduanya bisa terjadi bersamaan. Sekarang tertawa, esoknya menangis. Ada yang bahagia, ada pula yang berduka. Bisa sukses, bisa juga tidak. Mari kita anggap itu semua adalah pelangi kehidupan yang sudah menjadi makanan kita sehari-hari. Jika kita tak menyalahkan yang datang, lantas mengapa harus mempermasalahkan yang pergi? Mengapa manusia seenaknya mengatakan hidup ini tidak adil, seolah-olah dia mengerti adil itu apa, bisa jadi malah dia belum bisa menjadi pribadi yang adil, bukan mengadili. Bersedih karena kehilangan wajar, karena manusiawi. Marah karena perpisahan pun begitu. Tapi selama tetap dalam batas yang masih dapat ditoleransi dan tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Terinspirasi dari sebuah pertanyaan di jagat internet.
Written By Yus. Powered by Blogger.