Siapalah aku
Apa hebatku
Sekuat apa diriku
Tetaplah seorang hamba

Aku hanya butiran pasir di gurun tandus
Yang terbang tersapu angin
Terhanyut dalam pusaran dosa
Menjelma jadi makhluk hina

Tak peduli sekuat apa aku
Tak ku hirau sehebat apa diriku
Disini tetap saja aku hamba
Yang tunduk kepada tuannya

Tuanku lebih kuasa
Sebagai hamba aku harus patuh
Atau dibakarnya aku nanti
Disebuah tempat bernama neraka

Tuanku yang mencipta aku, kau dan mereka
Seniman terhebat sepanjang masa
Yang berhak atas semua angkuh dunia
Karena Tuanku punya kuasa

Aku hanyalah hamba yang lemah
Yang tiada berbanding dengan kuasa Nya
Aku tak pantas untuk angkuh
Karena semua itu milik Tuanku

-Sabda Jumat
Kau kira aku apa
Seenaknya datang lalu pergi
Kembali lagi sesukamu
Lalu menghilang tanpa jejak
Aku bukan haltemu
Bukan juga mainan
Aku masih punya hati
Walaupun sudah terserak dan tertiup angin
Jika menurutmu air mata itu hiburan bagimu
Pergi sajalah ke hutan
Maka kau dapati banyak air yang terjun
Tak usahlah kau kuras punyaku
Sampai kerontang tak sisa
Hingga kudaki puncak lalu teriakku
Menggema bersama seluruh sembiluku
Lalu turun menjelma hujan
Kau sudah mampir ke toko yang salah
Ia sudah lama pindah
Bertemu rumah baru yang nyaman
Bukan gudang usang seperti punyamu
Bahkan rumah hantu lebih baik
-Gadis Lugu Di Pasar Minggu

Datang dan pergi sesukamu
Bagai jelangkung yang tak pernah diundang
Hadirmu selalu mengganggu
Bagai parasit yang menempel pada inang
Wujudmu pun menjijikkan
Bagai lendir hidup yang siap memangsa tiba-tiba
Menggelayut jumawa diantara langit-langit Kau datang lalu mengganggu
Sebelum kemudian, pergi dan meninggalkan sisa
Tapi kau adalah peringatan dari alam
Bahwa aku tidak baik baik saja
Terima kasih, ingus

-Lubang Hidung, Setelah Pilek
Pagi itu, langit masih merah, bahkan fajar belum menampakkan sosoknya yang gagah dalam aroma jingga. Tapi, ia datang, dengan mata sembap dan berurai air mata menghiasi mukanya yang penuh ekspresi putus asa bercampur kecewa. Aku mempersilahkannya masuk, menyuruhnya duduk dan bernafas perlahan, agar ia merasa lebih tenang. Jika aku harus menilai seburuk apa penampilannya saat itu, mungkin kau bisa membayangkan penampilan seseorang yang baru saja melihat hantu yang ingin mencekiknya tiba-tiba, kurang lebih seperti itu.

"Dia...dia...dia sudah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku. Aku hancur", lalu tangisnya pecah tak terbendung. Ia meminjam bahuku untuk menaruh kepalanya, aku tahu pasti ini terlalu berat untuknya. Aku hanya bisa menunggu ia selesai menangis sambil mengelus rambut panjangnya.

"Sekarang aku harus bagaimana, aku orang paling bodoh dimuka bumi ini. Lebih baik aku mati saja", bisiknya kemudian.

"Jangan, cukuplah jika kau merasa bodoh. Jangan kau tambah lagi kebodohanmu dengan mengakhiri nyawamu. Memangnya kau bisa menjamin bahwa kematianmu tak lebih menderita dari hidupmu?", tatapku tajam. Mungkin aku terlalu keras padanya, tapi aku paling benci mendengar orang yang ingin mati karena alasan yang sangat konyol. Bahkan jika itu karena kau sudah terlanjur kehilangan mahkotamu.

"Maafkan aku, tapi memang tak ada yang terselesaikan hanya dengan mengakhiri hidupmu. Mungkin hidupmu memang berakhir, tapi apa kau bisa benar-benar yakin bahwa penderitaanmu ikut berakhir?", ulangku, lebih pelan dan lirih.

"Sudahlah, semuanya sudah tak akan kembali lagi. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah tetap melangkah sebagaimana mestinya, dan buktikan kepadanya bahwa kau masih bisa bertahan dan menunjukkan jika kau kuat. Aku yakin kau pasti bisa"

"Terima kasih", lalu ia mengambil tisu dan mengelap sisa air mata yang menempel di pipi mungilnya.
"Sekarang, aku merasa lebih baik. Hahaha, rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri", diluar dugaanku, perempuan itu tertawa, sambil masih mengusap air mata dan ingusnya.

"Asal kau tidak berubah menjadi gila, tak masalah", dan aku ikut tertawa bersamanya.

Setelah ia puas tertawa, ia memandangku dan berbicara lirih,
"Nanti, jangan jadi laki-laki seperti dia. Cukup dia saja yang begitu, kau jangan. Aku tahu kau masih punya hati"

"Tak akan", aku tersenyum, "Aku ini memang bodoh, tapi aku bukan bajingan spertinya"
"Sekarang, kuantar kau pulang. Istirahatkan badan pikiranmu dulu, kau pasti tidak tidur semalam karenanya"

-Pagi Yang Muram
Aku masih termenung diujung jendela, memikirkan kata-katanya barusan. Entahlah, saat ini aku tak mampu berpikir jernih, dan aku memang sedang tak ingin berpikir. Apapun itu, biarkan aku menikmati hujan yang singgah di bingkai jendelaku.
Tiba-tiba dia datang dari belakangku, memegang kedua pundakku dengan lengannya yang kekar, dan langsung menciumku. Astaga, ia sanggup menghanyutkanku sedalam ini. Sejenak, aku merasa bagai perempuan paling hina, sebelum bibirku larut dalam lumatan bibirnya. Bukannya melepaskan, aku justru membalasnya dengan hangat. Ini adalah ciuman pertamaku, dan ia yang mendapatkannya. Tuhan, aku ingin menangis rasanya. Setelah melepas bibirku, aku memberanikan diri membuka mulut,
"Lalu, bagaimana dengannya?"
"Entahlah, yang penting sekarang aku bersamamu", jawabnya enteng lalu merengkuh kepalaku, menaruhnya di bahunya yang kekar.
"Apa kau juga melakukan ini dengan yang lain?"
"Iya", gumamnya ringan. Sumpah, kalau bukan karena aku mencintainya, sudah kuambil pisau di dapur dan menggoroknya. Tapi aku menikmati ciumannya.
"Jadi, menurutmu sekarang, kita ini apa?"
"Kalau aku terserah bagaimana engkau", dan ia pergi, masuk ke kamarnya lalu mematikan lampu. Meninggalkanku sendiri ditengah kalutku. Ingin rasanya aku berlari, berteriak kepada rintik hujan diluar sana. Apakah aku masih memiliki harga diri, setelah semua yang terjadi? Bodohkah aku, jika masih mengharapkan sedikit rasa darinya? Sedikit saja, tak lebih. Salahkah? Jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu. Yang kutahu hanya aku menginginkannya, tak lebih.
Tuhan, aku tak ingin menjadi Sephia abad ke-21. Kumohon, tolong aku.

-Dosa Tengah Malam
Aku tidak mengingat apa-apa lagi tentang itu. Yang kuingat hanya, waktu itu hujan, dan kopiku masih panas. Lalu, tiba-tiba kepalaku sakit dan semua menjadi gelap seketika, dan aku memilih untuk duduk di teras kesayanganku. Entahlah, semua kisah abstrak ini membuatku lelah, seolah hidupku adalah sinetron tak berujung yang episodenya bisa mencapai tiga digit.

Dia menghampiriku, lalu tiba-tiba saja menciumku hingga aku sesak. Entah apa maksudnya, tapi aku menikmatinya. Kadang aku bingung sendiri, mengapa aku mau. Padahal belum tentu ia melakukannya karena benar-benar mencintaiku, dan aku sangat tahu itu. Ya Ampun, sebodoh inikah diriku? Merelakan bibirku dilumat oleh laki-laki yang bahkan hatinya tak pernah disisakan untukku walaupun hanya sepetak.

Setelah ia selesai dan memberiku beberapa jarak, semua kembali diam. Hanya hujan dan gemuruhnya yang berbicara memenuhi langit, sisanya memilih sunyi. Sampai kapan aku terus menjadi pemuas nafsunya yang hina, menjadi boneka bernyawa hanya karena aku menginginkannya. Sedangkan ia, sedetikpun tak pernah berpikir bahwa aku menyukainya, bukan, aku sudah jatuh cinta padanya. Semua yang ada padanya, aku suka. Entah itu dengkurannya, suara baritonnya, bahkan aku suka caranya tersenyum sambil menahan kentut, entah bagaimana caranya.

Sungguh, aku menikmati setiap detik kebersamaan ini, setiap dosa yang kami ukir dilangit gelap, setiap kisah yang kami tulis di bilik 3x4 meter itu, semuanya. Tapi aku hampa, kosong. Karena aku tahu, hatinya tak akan pernah ia berikan untukku. Tiba-tiba, aku merasakan ada yang hangat dimataku, sesuatu yang menggenang dan akhirnya linang ke pipiku, aku menangis? Entahlah, lalu aku menatapnya nanar sambil berkata,

"Jadi, selama ini kau anggap aku apa?"
Dia terdiam, "Maaf", jawabnya lirih.

"Aku ini bukan mainan", kataku setengah berteriak. Air mataku tak terbendung lagi. Aku berbalik dan berlari keluar secepat mungkin, berharap tangisku luruh dibawah hujan.

"Maaf", bisiknya sekali lagi.

-Dosa Tengah Malam
Written By Yus. Powered by Blogger.