Perempuan Pagi

/
0 Comments
Pagi itu, langit masih merah, bahkan fajar belum menampakkan sosoknya yang gagah dalam aroma jingga. Tapi, ia datang, dengan mata sembap dan berurai air mata menghiasi mukanya yang penuh ekspresi putus asa bercampur kecewa. Aku mempersilahkannya masuk, menyuruhnya duduk dan bernafas perlahan, agar ia merasa lebih tenang. Jika aku harus menilai seburuk apa penampilannya saat itu, mungkin kau bisa membayangkan penampilan seseorang yang baru saja melihat hantu yang ingin mencekiknya tiba-tiba, kurang lebih seperti itu.

"Dia...dia...dia sudah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku. Aku hancur", lalu tangisnya pecah tak terbendung. Ia meminjam bahuku untuk menaruh kepalanya, aku tahu pasti ini terlalu berat untuknya. Aku hanya bisa menunggu ia selesai menangis sambil mengelus rambut panjangnya.

"Sekarang aku harus bagaimana, aku orang paling bodoh dimuka bumi ini. Lebih baik aku mati saja", bisiknya kemudian.

"Jangan, cukuplah jika kau merasa bodoh. Jangan kau tambah lagi kebodohanmu dengan mengakhiri nyawamu. Memangnya kau bisa menjamin bahwa kematianmu tak lebih menderita dari hidupmu?", tatapku tajam. Mungkin aku terlalu keras padanya, tapi aku paling benci mendengar orang yang ingin mati karena alasan yang sangat konyol. Bahkan jika itu karena kau sudah terlanjur kehilangan mahkotamu.

"Maafkan aku, tapi memang tak ada yang terselesaikan hanya dengan mengakhiri hidupmu. Mungkin hidupmu memang berakhir, tapi apa kau bisa benar-benar yakin bahwa penderitaanmu ikut berakhir?", ulangku, lebih pelan dan lirih.

"Sudahlah, semuanya sudah tak akan kembali lagi. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah tetap melangkah sebagaimana mestinya, dan buktikan kepadanya bahwa kau masih bisa bertahan dan menunjukkan jika kau kuat. Aku yakin kau pasti bisa"

"Terima kasih", lalu ia mengambil tisu dan mengelap sisa air mata yang menempel di pipi mungilnya.
"Sekarang, aku merasa lebih baik. Hahaha, rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri", diluar dugaanku, perempuan itu tertawa, sambil masih mengusap air mata dan ingusnya.

"Asal kau tidak berubah menjadi gila, tak masalah", dan aku ikut tertawa bersamanya.

Setelah ia puas tertawa, ia memandangku dan berbicara lirih,
"Nanti, jangan jadi laki-laki seperti dia. Cukup dia saja yang begitu, kau jangan. Aku tahu kau masih punya hati"

"Tak akan", aku tersenyum, "Aku ini memang bodoh, tapi aku bukan bajingan spertinya"
"Sekarang, kuantar kau pulang. Istirahatkan badan pikiranmu dulu, kau pasti tidak tidur semalam karenanya"

-Pagi Yang Muram


You may also like

No comments:

Written By Yus. Powered by Blogger.