'Setidaknya' adalah kata yang paling sering kugunakan untuk tetap bersyukur dalam memaknai setiap kehilangan, daripada mengeluhkannya. Seperti halnya denganmu, meski aku belum sempat menggenggam jemarimu. Setidaknya, pernah ada senyum yang sengaja kau bikin untukku. Setidaknya, Tuhan masih mengizinkanku jatuh cinta denganmu. Setidaknya, kau pernah memberiku kesempatan. Setidaknya kau masih mengizinkanku berjuang sampai detik ini. Dan setidaknya lagi, aku pernah punya harapan. Biarlah semua ekspektasi itu menjadi liar tiap gelap menjelma, setidaknya kau pernah begitu nyata disampingku. Dan meskipun hanya satu malam kulalui denganmu, kuharap kau abadi dalam puisiku. Terimakasih telah membuatku selalu menyebut namamu dalam setiap doa yang masih kunyanyikan hingga sekarang.
-Kota Jancuk, Ba'da Isya'

Terima kasih sudah mengizinkanku datang
Membiarkanku masuk lewat jendela kosong ditengah larut yang dingin
Maaf jika aku bertamu terlalu lama
Dan hanya bisa merepotkan
Aku hanyalah pengembara sesat
Yang dikirim semesta kepadamu
Agar kelak kau tak menghabiskan malam panjangmu sendiri
Mungkin setelah sembilan purnama nanti
Aku akan keluar
Dan menangis dihadapanmu
Aku adalah segumpal darahmu yang hidup
Dan maaf bila hadirku justru menyusahkanmu
Aku hanya tak ingin kau sendiri
Diam ditelan sepi
Susah dikoyak hidup
Terima kasih, ibu

-Malaikat Kecil
Jika bagimu rumah adalah tempat untuk kembali dan tak pergi lagi, maka bagiku rumah adalah tempat dimana aku selalu ingin kembali. Tak peduli berapa kali kau pergi, aku akan selalu rindu untuk pulang. Rumah adalah tempat untuk bernaung, dan merindu dalam kehangatan.
Bagiku, semua adalah rumahku. Entah rumah itu pernah memberiku pengalaman atau bahkan pelajaran, aku akan selalu menganggapnya rumah. Karena rumah-rumah yang pernah kusinggahi itulah yang membentukku seperti saat ini.
Begitupun kau, seseorang yang pernah merelakan hatinya untuk kutinggali, dan kujadikan rumah. Percayalah, bahkan sampai sekarang pun kau masih kuanggap sebagai rumahku, meskipun aku tahu, sudah bukan waktunya lagi aku pulang kesana.
Aku selalu mendoakan kebaikan-kebaikan untukmu, terlepas dari entah kau memang baik atau tidak. Semoga, penghuni barumu sanggup menjaga dan merawatmu lebih baik daripada yang pernah kulakukan untukmu. Sebab jika tidak, tak mungkinlah aku kembali untuk membersihkan debu yang kerontang disana. Sebab, aku bukan lagi pemilik rumah itu. Selamat pulang

Aku meringkuk diujung kamar sambil menggenggam selimut, membiarkan air mataku membanjiri kasur yang menjadi saksi hilangnya sesuatu yang aku pertahankan mati-matian seumur hidup. Ia baru berhenti setelah aku benar-benar menangis. Dan sekarang dengan mudahnya kuberikan kepadanya, walaupun pada awalnya ia yang setengah memaksa. Sekarang apa? Sudah terlambat jika aku menyesalinya, toh semua tak akan sama lagi.

"Kau tidak apa-apa jika begini?", tanyanya. Membuatku mendelik kesal. Kenapa baru sekarang ia bertanya, seolah memang ia sengaja melakukannya.

"Iya, nggak apa-apa kok", jawabku sambil menggaruk dinding yang mulai terkelupas catnya.

"Maaf, jika akhirnya aku memilihnya", bisiknya, lirih.

"Iya, tak apa. Asal, jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukanku. Ia gadis baik, dan polos. Berbeda denganku, memang aku yang terlampau bodoh", lalu aku menangis lagi. Setelah semua ini, ternyata ia memang lebih memilih gadis itu. Sedang aku disini hanyalah permen karet yang sudah hilang manisnya, lalu ia buang sembarangan.

"Kumohon, jangan berkata seperti itu. Kau tak sebodoh yang kau kira", setelah itu kudengar isaknya. Oh, ternyata ia masih punya hati. Tapi tetap saja ia bajingan. Tiba-tiba aku menyesal telah berbuat baik kepadanya selama ini, dan semua hartaku, mau saja kuberikan kepadanya setiap ia memintanya, hingga sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Kenapa aku sebodoh ini, Tuhan? Kenapa? Kenapa cinta begitu buta, sehingga aku tak melihat bahwa ternyata ia hanya menjadikanku bonekanya?

"Demi kau, aku akan menjaganya"

Hah, demi aku? Apanya yang demi aku? Kau sudah puas menikmatiku, mengambil semua yang kau mau, mendapatkan semua yang kau minta. Sedang aku? Aku hanya mendapat luka dan air mata karena tingkah nistamu itu. Meskipun setiap kali kau memintanya, aku selalu menyesal setelah itu.

Lalu ia berdiri menyalakan lampu, memakai baju dan celana pendek warna biru favoritnya, kemudian membuka pintu dan pergi. Meninggalkanku sendiri yang masih terisak di atas ranjang dan hanya ditutupi selimut yang belum dicuci. Samar-samar kudengar suara ayam, sudah pagi rupanya.

-Dosa Tengah Malam
Written By Yus. Powered by Blogger.