Dibawah gemuruh langit kelabu ini, izinkan aku mendekap bayangmu dalam memori. Mengucap sepatah kata dan sebaris doa untukmu. Ingin kutitipkan salamku lewat desah angin disela pepohonan. Bersama dengan turunnya tetesan rindu ini, biarkan raga ini terlelap. Berkelana bersamamu dialam mimpi. Hai burung gereja diatas pohon, maukah kau menyampaikan salamku kepada bulan yang tetap bersinar ditengah hari. Salam dari sang surya yang kehilangan cahayanya. Terhalang awan kelabu yang berhiaskan rindu. Biarkan aku merindu, menatap hampa keujung bingkai kenangan. Izinkan aku mencintaimu dalam diamku. Menyesapnya dalam setiap helaan nafasku. Aku hanyalah seonggok gumpalan darah yang hina. Yang selalu memujamu dalam setiap tetes darahku. Biarkan hati ini yang menanggung semua rasa dan asa ini. Tak perlulah kugaungkan kepada semesta. Cukup aku, engkau dan rindu dalam secangkir kenangan ini. Kepada bulan ditengah hari, pinjamkan aku kekuatan cahayamu. Agar aku mampu mengusir sepi diujung kelabu.

Kamu itu satu dan kamu istimewa. Seperti bulan yang selalu menyebarkan kehangatan dalam setiap pancaran sinarnya yang menenangkan. Kamu adalah satu dari sekian malaikat tanpa sayap, yang menerangi setiap hembus nafas ini.

Biarkan aku mengungkapkan segalanya dalam kiasan, karena sejujurnya akupun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Biarkan bintang-bintang di hamparan langit yang menafsirkannya. Aku hanya ingin mengarungi sungai deras ini bersamamu. Aku tak pernah sanggup untuk menyatakan kebenaran hati ini, karena nyaliku tak terisi. Pun aku tak sanggup berdusta karena terlalu berat untuk menyembunyikan semua kebenaran rasa ini. Biarkan aku membasuh lukamu dengan tawa dan menghapus air matamu dengan canda.

Karenamu aku menjadi pelangi penuh warna, tak lagi hanya setumpuk warna hitam putih dalam balutan kelabu. Keindahan yang kau rasa tercipta karena adanya campuran warna dalam cahaya asmara.

Izinkan aku menjadi bagian dari romansa diujung rindu. Kenapa waktu terasa lelah dan malas berputar tanpamu, kau bertanya. Aku pun tak tahu, kasih. Seakan ia sengaja menguji kesabaran kita dalam lorong hampa  yang gelap dan sepi ini. Menyiksa, menghanyutkan dalam sepi disetiap detaknya.

Meskipun purnama tahu tak semudah itu menggapai matahari, ia tak akan pernah menyerah. Karena ia tahu, kesetiaannya tak semudah itu ditaklukkan. Meskipun ia tahu, jarak dan waktu tak lagi bersahabat dengannya. Meski ia tahu, ia mungkin terbakar oleh matahari. Aku yakin, purnama ini akan selalu memelukku dan menemaniku dengan segala kekhawatirannya.

Tapi, tahukah engkau mengapa Tuhan menciptakan purnama? Untuk berbagi kehangatan, kedamaian, serta kerinduan bersama sang surya. Membagi cahaya kasih di bumi cinta ini. Biarpun badai menggelora, dan ombak bergejolak, toh pada akhirnya semua berakhir dengan sebuah senyum indah yang terpancar dari semesta. Kebahagiaan yang berasal dari kumpulan cahaya rindu, dan setetes embun fajar. Aku tahu segala rasamu, biarkan ia ada dalam diamnya. Dekap aku, maka kau akan mengerti mengapa rindu ini tak perlu terucap, karena ia hanya butuh tersampaikan. Bahkan semesta pun sadar, bahwa purnama bersniar kaena matahari. Aku tahu, mendung ini yang menghalangi hangat sinarku kepadamu.

Diamlah, tenangkan ragamu sejenak. Aku tahu kau terlalu lelah menanggung beban rindu yang teramat ini. Esok, izinkan aku yang menanggungnya. Sekarang, simpalnlah ia dalam asa. Ketika sang surya kembali lagi esok, peluklah aku sekuatmu, rengkuhlah kumpulan belulang ini. Luapkan segala asa dan rasa dalam dadamu. Biarkan aku menerima semuanya. Izinkan aku menjadi tempat bersandarmu.

Biarlah jarak dan waktu bermain dalam dunianya. Selama kau dan aku masih menjadi kita, aku tak takut. Rintangan pasti menghadang, badai pasti menerjang. Tapi aku percaya, selama kau masih berdiri disisiku, semangatku tak akan pernah padam. Apapun yang terjadi. Dibawah purnama aku bernanung, kepada purnama aku kembali.
Kepada hujan diujung senja, ajarkan aku bagaimana caranya membuat dia bahagia. Aku tak ingin menjadi duri yang hanya bisa menyakiti, bukan melindungi. Aku ingin melihat dia tersenyum dan tertawa, bukan menangis dan terluka. Biarlah kuhapus deritanya dan kuganti dengan cerita indah. Jika memang kita tak bisa bersama selamanya, aku ingin menahannya dalam dekapanku selama yang aku mampu. Hingga raga dan jiwaku lemah tak berdaya. Aku belum siap untuk melepasnya.

Kepada hujan diujung senja, maukah kau mengajariku arti cinta yang sesungguhnya. Karena yang kutahu, cinta sejatinya hanya memberi dan terus memberi. Ia tak pernah mengharap kembali, menuntut, bahkan meminta. Ia akan selalu berusaha untuk berlapang dada dan menerima apa adanya. Cinta yang kutahu adalah saling memaafkan, bukan saling menyalahkan. Cinta tak bisa dibagi, tapi ia rela berbagi jika itu memang yang terbaik. Cinta yang kutahu saling membahagiakan, bukan saling menyakiti dan menyalahkan. Meski terkadang manusia tak pernah luput dari kesalahan. Cinta yang kutahu berusaha menerima dan memahami, bukan menuntut dan memaksa. Cinta yang kutahu selalu berjuang bersama. Menghadapi segala ujian dan cobaan yang datang menghadang. Bukan hanya sekedar pasrah dan menyalahkan keadaan. Saling membantu dan menguatkan, bukan saling menghancurkan. Banyak orang menjadi kuat karena cinta, namun tidak sedikit yang lemah dan hancur karenanya.

Kepada hujan diujung senja, ajari aku arti bahagia karena cinta.
Masih ingatkah engkau, saat pertama kali kita bertemu? Hari-hari dimana kita masih saling canggung. Saat-saat kita masih baru saling mengenal. Aku hanya sekedar mengenalmu, tanpa peduli kau ada maupun tidak. Hari demi hari yang kulalui masih terbilang 'datar'. Aku pun selalu menyepelekan dan bahkan 'mati rasa' untuk urusan hati.
Tiba-tiba, entah mengapa dan bagaimana caranya, kita menjadi dekat. Kau selalu menyapaku, tersenyum padaku, bahkan tak segan untuk sekedar basa basi. Ya, saat itu aku hanyalah seorang pria dungu yang tak mengerti, apa ini. Aku terlalu mati rasa untuk mengerti yan sebenarnya terjadi. Oleh karena itu aku bergerak mundur, dan menghilang secara perlahan. Karena saat itu aku masih belum yakin dengan diriku sendiri, dan aku tak mengerti arti dibalik semua ini. Yang kurasakan saat itu hanyalah kebingungan dan ketakutan. Karena aku pun belum pernah mengalaminya.
Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah menghindarimu, dan bahkan membuatmu membenciku. Maafkan kebodohanku saat itu, alih-alih aku membuatmu membenciku, kau malah terluka karena tindakan cerobohku ini. Aku kalap, aku tak tahu kemana harus berlindung. Aku sendiri, tersesat dalam pelarianku tanpa tahu, kemana harus melangkah.
Saat aku menyangka kau akan membenciku, justru kau malah mendekatiku dan mengatakan hal-hal yang justru membuatku gemetar dan ingin secepatnya enyah dari hadapanmu segera. Kau masih tetap tersenyum, berusaha untuk mempeebaiki semua. Walaupun toh, sebenarnya aku yang menghancurkan segalanya. Kau, dengan sabarmu meyakinkanku bahwa aku mampu untuk memulai lagi, memperbaiki segalanya.
Lalu, ketika kita sudah berhasil memperbaiki ini, kau kembali bertanya dengan menghujamkan kata-katamu yang menusuk jauh kedalam. Tapi aku sadar, bahwa sakit yang kau rasakan saat itu jauh lebih parah. Aku mengerti, lukamu sangat dalam karenaku. Aku hanya mampu menjawabmu dengan jawaban yang bahkan aku sendiri tak sanggup memahaminya. Karena saat itu, aku terlalu sibuk untuk menutup rapat-rapat pintu hatiku daripada belajar untuk menerimamu. Kau yang selalu menerimaku apa adanya.
Aku ingin belajar untuk lebih menerimamu apa adanya dirimu. Engkau, yang seutuhnya menjadi dirimu sendiri. Tanpa peduli hujatan mereka yang iri dan benci padamu. Aku ingin menjadi dia, dia yang selalu disisimu seperti apapun keadaanmu dan disetiap langkahmu. Aku ingin menjadi rumah, rumah yang menjadi tempatmu kembali. Kembali dari rutinitasmu yang melelahkan, menjadi tempatmu bersandar dan berkeluh kesah. Aku ingin menjadi bagian dari ceritamu, mewarnai setiap lembarnya. Menjadi tempat berlindungmu dikala senang maupun susah.
Semua terasa istimewa semenjak kita melangkah beriringan dengan tujuan yang sama. Hari ini tak terlupa ketika kau genggam tanganku, tangan yang dingin ini. Dingin karena merindukan kehangatanmu. Hari ini melelahkan, tapi lelah itu sirna ketika matamu menatap kearahku. Mata yang bersinar, dengan pandanganmu yang menyejukkan dan selalu membuatku rindu. Aku tahu aku penuh kekurangan. Aku tahu kita tak pernah luput dari kesalahan, kita pernah berpisah, kita pernah bersama, tapi hal itu tak merubah segalanya. Segalanya adalah rasa, rasa yang semoga tak akan pernah padam dan harapan yang tak akan sirna.
Ajari aku untuk menjagamu, menemani setiap langkahmu, menjagamu dalam gelap, menguatkanmu dikala rapuh, mendengarkan setiap keluh kesahmu, menghangatkanmu dalam dingin, menghiburmu dalam diam, mengubah tangismu menjadi tawa, mengubah mendung menjadi pelangi. Ajari aku untuk mengerti dirimu. Jika suatu saat nanti aku pergi, bawa aku kembali. Kembali kepelukanmu, berjalan bersamamu.
Aku tahu, aku sadar, aku bukanlah seorang pujangga roman yang sanggup menghujanimu dengan kata-kata mesra. Aku bukanlah saudagar kaya yang bisa menjamumu setiap saat. Aku juga bukan musisi yang mampu membuatkanmu nada-nada indah untuk dikenang. Aku hanyalah seorang pemuda rapuh yang ingin mengungkapkan perasaanku dengan caraku sendiri. Meskipun harus kuakui, aku tak tahu ini apa. Aku hanya merasa, bahwa aku sudah merasa nyaman melalui hari-hari bersamamu. Aku hanya ingin berjuang bersama, sekuat yang kita bisa, sejauh dan selama yang kita mampu. Aku pun tak pernah berharap ini akan berakhir. Seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan jawaban atas pertanyaan kita. Tapi aku tak butuh jawaban, aku hanya menginginkanmu disampingku, dan menghabiskan waktu bersamamu.
Banyak orang yang menemuiku dan mengejek karena aku sendiri. Aku memang sendiri, tak punya pasangan. Tapi, apa kemudian karena itu kalian menghinaku? Sehina itukah para single yang sedang berusaha menata masa depan dihadapan kalian? Tapi tak apa, biarlah aku hina dihadapan kalian. Aku sendiri bukan karena nasib, tetapi karena prinsip. Bagiku, masa depan dan mimpi-mimpi yang belum tercapai lebih penting daripada sekedar urusan hati.
Bagiku, cita-cita dan mimpi diatas segalanya. Termasuk urusan remeh macam cinta. Masih banyak mimpi yang belum terwujud, masih ada cita-cita dan asa yang belum kuraih. Dan aku tak ingin masa mudaku terbuang sia-sia karena cinta. Aku masih ingin berpetualang lebih jauh lagi, tanpa ada yang membatasi dan menghalangi. Aku ingin menjejakkan kakiku diberbagai belahan dunia. Aku ingin menghabiskan masa mudaku dengan keringat perjuangan, bukan dengan nyerinya patah hati. Terlalu banyak yang ingin kuraih.
Bukan berarti aku malas membuka hati, aku memang pernah kecewa karena tersakiti. Tapi masa depan dan mimpi adalah hal terpenting dalam hidup ini. Lagipula, untuk apa pacaran? Bersenang-senang, lalu sakit hati? Tanpa ada niat untuk bersama suatu hari nanti dalam sebuah kalimat satu nafas yang diakhiri dengan ucapan sah dihadapan penghulu? Terima kasih, aku tak ingin menyia-nyiakan masa mudaku dengan hal-hal remeh macam itu, apalagi untuk kemudian sakit hati karenanya.
Wahai kalian yang sedang asyik memadu kasih, apakah kalian sudah siap untuk menjalani masa depan kalian? Atau malah terlena karena mabuk asmara. Percayalah, kalau kalian sudah berusaha untuk memantaskan diri, maka suatu hari nanti akan datang seseorang yang pantas mendampingimu. Karena cinta yang baik pasti datang pada masanya. Untuk itu aku tak keberatan menunggu sampai waktunya tiba. Karena kamu pantas mendapatkan apa yang kamu perjuangkan.
Terasa amat sangat sakit  ketika ditinggalkan oleh seseorang yang  dicintai, disisi lain mungkin seseorang yang meninggalkanmu juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, terkadang kita hanya tahu seseorang itu pergi karena ingin mencari seseorang yang lebih baik dari kita yang dulu pernah ada dalam kehidupannya.
Persepsi itu seakan-akan tertanam begitu saja dan mengakar kuat, dan seakan-akan kita selalu menyudutkan dia, dan menilainya seperti dia punya kesalahan yang penuh karena telah berani menyakiti hati kita. Akan tetapi, jarang sekali, bahkan mungkin ada yang tidak pernah berpikir bagaimana jika kita berada di posisinya. Pasti dia punya sebab mengapa dia berjalan perlahan menjauhimu. Ibarat pepatah “tak ada asap jika tak ada api.”
Bukan perkara mudah bagi dia untuk mengatakan semua hal yang terjadi dihadapanmu, berkata mengapa dia harus membuat jarak terhadapmu. Walau dia tahu ini adalah sesuatu yang menyakitkan, bagaimana tidak ?
‘sengaja untuk menyingkirkan diri, itu tak mudah.’
Sedangkan disisi lain kamu begitu merasa letih atas sikap yang telah ia perbuat padamu. Seolah-olah kesalahan terbesar adalah pada dirinya yang telah tega mundur dari barisan asmara yang telah dibina. Bukan begitu cara seseorang menunjukan cintanya, melainkan semata-mata mematuhi ego belaka.
Ada kalanya, kita harus berpikir tenang dan berprasangka lebih baik terhadap sesuatu yang terjadi. Kita memang tidak bisa secara langsung menyimpulkan atas apa dan karena apa sesuatu itu terjadi, akan tetapi ada hal yang patut kamu ketahui ketika dia pergi yakni karena ia ingin memantaskan diri.
Dia sadar, dia manusia biasa yang hanya ingin menjalani hidup dengan baik dan dengan cara yang  baik pula. Meskipun banyak orang yang bilang , cinta itu menerima apa adanya. Namun hakikatnya cinta itu menerima apa ada (kebaikannya), dan jika dia memilih jalan hidupnya, maka mengapa kita harus melarangnya. Yang baik menurutmu belum tentu baik menurut dia, jadi biarkan dia memutuskan apa yang terbaik untuk hidupnya
Dia ingin kamu mampu mendewasakan diri, dengan cara meraih kesuksesan masing-masing. Bukankah jika benar-benar kamu dan dia berjodoh maka akan dipertemukan kembali oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan lebih baik dari saat ini dan lebih siap untuk menata kehidupan esok
Jika dia yang sekarang, tak datang dikemudian hari, maka yakinlah, Allah telah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik untuk masa depanmu. Karena semua hanya titipan semata, begitu pula dengan cinta.
Aku tak pernah menyangka, bahwa pertemuan pertama kita yang tak disengaja akan menjadi sebuah pertemuan yang bersejarah dalam hidupku. Kau datang dengan senyum indahmu dan wajah polosmu, dengan hangatnya menyapaku. Kita yang dulunya tak saling mengenal satu sama lain, lambat laun menjadi akrab sebagai teman.
Tetapi, lambat laun, seiring berjalannya waktu, ada sesuatu yang membuncah dalam hatiku. Yang saat itu aku sendiri pun tak tahu itu apa. Setiap kali melihatmu tertawa, mendengar kisah hidupmu, hatiku rasanya tidak karuan. Aku pun bertanya, kenapa? Ingin rasanya aku memastikan itu, agar tak ada lagi yang mengganjal dihatiku. Namun, perasaan itu semakin lama semakin menjadi jadi. Aku bahkan hampir gila memikirkanmu setiap saat.
Hingga akhirnya, kata aku dan kamu berubah menjadi kita. Hari demi hari kita jalani bersama. Canda dan tawa kita habiskan bersama. Bahkan untuk sekedar melihat matahari terbenam pun pernah kita lalui bersama. Aku pun sempat berpikir, bahwa kamu lah yang akan menjadi teman hidupku yang terbaik, sekarang dan selamanya. Sejak saat itu, yang selalu aku takutkan adalah kehilangnmu. Kehilangan seseorang yang sudah seperti separuh jiwaku. Aku hanya ingin menjagamu dengan segenap jiwa dan ragaku.
Namun, banyak halangan dan rintangan yang kita hadapi. Banyak cobaan yang menerpa, yang membuat kita terombang ambing di samudra kehidupan yang ganas ini. Aku selalu meyakinkan diri ini dan kau, bahwa kita akan baik baik saja. Dalam sebuah hubungan pasti ada ribuan badai yang menghadang. Tapi, nampaknya kau belum siap untuk menghadapi segala yang akan terjadi. Semua perbedaan yang mencolok antara kita, yang membuatmu semakin menjaga jarak.
Kau dengan mudahnya datang, lalu pergi. Menghilang begitu saja dan menyuruhku mencarimu. Mencintai tak sebercanda itu. Aku jugalah manusia biasa. Aku lelah harus mencari. Untuk apa kau pergi, lalu kembali dan pergi lagi. Untuk mengujiku? Apalagi yang ingin kau uji? Tidakkah semua sudah cukup jelas bagimu? Setia bukanlah perkara macam pelajaran aljabar rumit yang masih perlu dipelajari rumusnya. Bukan juga materi fisika abstrak yang perlu dikaji kebenarannya. Semua itu berawal saling percaya. Bukan saling menguji. Untuk apa mencintaiku jika tak percaya padaku. Apakah aku tak layak untuk dipercaya? Tetapi kau selalu seenak hati mempermainkan perasaan ini. Hingga aku sadar, kau sudah ingin segera berlalu.
Dan akhirnya kau pergi meninggalkanku. Beserta semua kenangan dan kebahagiaan yang telah kita rajut bersama. Kau campakkan aku dengan mudahnya. Saat kutanya mengapa, kau hanya menjawab kita sudah tak cocok. Justru perbedaanlah yang menjadikan segalanya lebih berwarna. Tapi, sudahlah. Tampaknya kau memang sudah bosan denganku. Siapa bilang seorang pria tak bisa rapuh. Aku pernah hancur, saat kau pergi begitu saja dan menghilang dari hadapanku. Aku sempat mengutuk diriku sendiri. Aku pun bertanya, apa sebenarnya salahku hingga kau dengan mudahnya mengakhiri semua. Tapi akhirnya aku sanggup untuk bangkit dan tersenyum kembali. Toh, kau juga tak akan kembali ke sisiku.
Terima kasih, karena pernah mengajariku tentang arti kebahagiaan, kehidupan, dan kebersamaan. Terima kasih, sudah pernah singgah dihatiku dan membuat sebuah kisah bersama. Terima kasih, sudah menunjukkan kekuatan dan kelemahanku. Aku hanya berharap, semoga kau bahagia dengan hidupmu yang baru.

Banyak orang yang tidak dapat menempuh pendidikan 'tepat' pada waktunya, dan karena 'terlambat' itulah justru mereka enggan untuk duduk di bangku sekolah ataupun kuliah. Ada yang bilang " gengsi mas, malu sama umur. Nanti saya paling tua lagi diangkatan". "Malu juga sama senior, udah tua gini kok masih jadi junior". "Lah mas, nyari ilmu itu kan nggak mesti sekolah, apalagi kuliah". "Itu yang punya feabuk sama miksrosop nggak sarjana bisa sukses" dan "bla.. bla.. bla..". Padahal justru rasa gengsi, enggan, apalagi menyamakan diri dengan Bill Gates maupun Mark Zuckerberg (baca: tidak tahu diri) malah membuat kita kelihatan semakin bodoh. Memang, ilmu tidak harus didapat melalui pendidikan formal (baca: sekolah dan universitas), tapi disanalah kita mendapat pengetahuan pokok tentang alam, bahasa, budaya, agama, bahkan teknologi. Sisanya, baru kita kembangkan sendiri.

Dari sekian banyaknya penduduk Indonesia yang kita cintai ini, sebagian besar memang belum mampu untuk mengenyam jenjang pendidikan formal. Boro-boro kuliah, untuk sanggup lulus ditingkat SMA atau yang sederajat saja sudah untung-untungan. Akan tetapi, ada juga yang memang mampu untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tapi mereka 'malas'. Alasanya, kebanyakan sama seperti yang sudah saya sebutkan diatas. Padahal, persaingan di era global ini sudah semakin ketat. Belum lagi adanya saingan baru, yaitu masuknya TKA (tenaga kerja asing) yang menyerbu Indonesia yang cukup menghebohkan dunia kerja Tanah Air. Kalau sudah begitu, apalagi senjata kita untuk bersaing dengan para pekerja impor tersebut? Pastinya pengetahuan yang memadai, bukan?
Namun, banyak juga orang yang 'salah niat' dalam menuntut ilmu di jenjang yang lebih tinggi. Sebagian besar dari mereka (atau kita?) masuk ke universitas top dengan jurusan bergengsi hanya untuk memperoleh sebuah gelar. Nah, mari kita berfikir kembali, apalah arti sebuah gelar dan ijazah kalau ilmu yang kita dapat tidaklah sepadan dengan gelar itu sendiri. Sekolah dan kuliah bukan hanya ajang untuk meninggikan derajat dan pamer, bukan juga tempat untuk mengoleksi gelar. Tujuan sebenarnya didirikan sekolah dan universitas bukan itu, tetapi adalah tempat untuk menambah ilmu dan wawasan, serta wadah untuk bersosialisasi. Dengan siapa? Ya dengan semua yang ada di sekolah atau universitas tersebut, tentunya. Karena apa yang kita lakukan di sekolah dan kampus berpengaruh dengan kehidupan kita sehari-hari.

Pergilah ke sekolah atau kampus dengan niat untuk mendapat setetes ilmu dari Yang Maha Kuasa melalui perantara guru dan dosen. Gelar hanyalah bonus yang didapat setelah kita menimba ilmu sekian lamanya. Setelah lulus, pergunakan ilmu dengan sebaik mungkin agar bermanfaat bagi orang lain, keluarga, agama, bahkan negara. Apalah arti orang yang berilmu kalau ilmu tersebut tidak diamalkan, melainkan hanya dipendam dan dijadikan harta karun. Toh, ilmu kita tidak akan berkurang apabila kita berbagi, justru semakin bertambah. Tidak percaya? Boleh dicoba. Lagipula apabila kita mengajari seseorang sebuah kebaikan dan mengamalkannya, selama orang yang kita ajar mengamalkan ilmu tersebut, kita juga mendapat pahala setimpal. Begitu pula sebaliknya apabila kita mengajari sebuah keburukan. Hitung-hitung sebagai tabungan amal di akhirat nanti kan?

Jadi, usia bukanlah penghalang dan tidak pernah menjadi penghalang bagi siapapun untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya. Malu? Lebih malu dengan manusia atau malu dengan Sang Pemilik Ilmu? Ada sebuah pepatah barat yang saya jadikan modal untuk terus menuntut ilmu di jalan-Nya. "Never too old to learn". Jangan pernah merasa tua untuk belajar. Meskipun kenyataanya saya adalah mahasiswa tertua di angkatan. Selamat belajar!

Akhirnya, setelah beberapa bulan vakum dari kegiatan blogging, saya punya kesempatan lagi untuk menulis. Ini pertama kalinya saya mengulas obyek wisata. Dan saya akan mengulas keindahan pantai selatan banyuwangi. Banyak orang yang mungkin belum tahu, apa aja sih yang ada di Banyuwangi? Banyuwangi sebenarnya memiliki beragam tempat wisata yang tak kalah menarik dengan Yogyakarta, atau Bali. Di Banyuwangi ada banyak pantai, karena letak geografisnya yang berada di semenanjung Blambangan. Ada pantai Sukamade, Teluk Hijau atau yang lebih dikenal dengan Green Bay, Pulau Merah, Pantai Rajegwesi, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dengan Pantai Plengkungnya atau G-land, Pantai Boom, Pulau Tabuhan, dan yang paling sering dikunjungi yaitu Kawah Ijen.
Hari ini saya mengunjungi Teluk Hijau atau yang lebih populer dengan istilah Green Bay. Teluk Hijau sendiri terletak di Taman Nasional Meru Betiri. Dari Banyuwangi kota saya menempuh perjalanan sekitar 74 KM selama 3 jam. Semula jalan masih mulus ketika melalui perkebunan milik PTPN (PT Perkebunan Nusantara), tapi setelah melalui kebun karet, jalan yang dilalui cukup sulit hingga tempat tujuan. Saya sarankan jika anda hendak ke Teluk Hijau, lebih baik menggunakan mobil jeep atau motor trail. Karena medan yang dilalui cukup sulit dan berlumpur. Setelah tiba di gardu pos, saya diminta untuk membeli tiket masuk TN Meru Betiri sebesar Rp 7.500,-. Dari gardu pos hingga tempat parkir, jalan semakin sempit dan berbatu. Setelah tiba di tempat parkir, jangan harap anda bisa langsung melihat hamparan pasir putih bersih dan air laut berwarna hijau. Untuk mencapai teluk hijau, anda memiliki dua opsi. Pertama, naik perahu selama 10 menit dengan biaya Rp 25.000,- saat peak season. Atau, jika anda ingin sedikit berhemat sembari menikmati pemandangan hutan yang masih asri, anda dapat memilih rute jalan kaki sejauh 2 KM. Tapi, bagi anda yang jarang berolahraga dan berjalan jauh, mungkin anda akan merasa pegal-pegal. Pastikan saat anda memilih untuk berjalan kaki, sandal atau sepatu yang anda gunakan benar-benar memiliki daya cengkram yang kuat. Karena medan yang dilalui cukup sempit dan berlumpur. Apalagi jika hari sebelumnya terguyur hujan. Bisa jadi anda tergelincir. Setelah berjalan kaki sejauh 2 KM, anda akan melihat hamparan pantai karang berbatu. Apakah saya sudah sampai di teluk hijau? Belum. Meskipun pantai batu ini tidak sama dengan teluk hijau, namun pantai ini tidak kalah indahnya dengan teluk hijau. Dijamin, setelah anda melihat hamparan batu putih bersih dan laut yang bening, capek yang anda rasakan hilang seketika. Tempat ini biasa dijadikan tempat singgah sebelum menuju teluk hijau. Tidak sedikit wisatawan yang berfoto diatas karang. Setelah puas memandang batuan putih disepanjang pantai, kini saatnya untuk berjalan kearah tebing di sebelah barat. Dibalik tebing itulah teluk hijau berada. Pasirnya yang putih dan air lautnya yang bening membuat semua orang yang ada disana enggan untuk beranjak. Disini anda dapat bermain air, berenang, atau hanya sekedar berfoto. Setelah puas bermain air, waktunya membersihkan diri di air terjun tak jauh dari pantai. Disini anda dapat menyaksikan langsung pertemuan antara air tawar dengan air laut. Apabila anda takut tenggelam, jangan khawatir, disana terdapat penyewaan ban. Harga yang dipatok sekitar Rp 5.000,- .. Apabila anda membawa bekal, jangan membuang sampah sembarangan ya. Sudah ada slogan dipapan yang terpasang ketika anda memasuki kawasan pantai, "do not leave anything but footprint, do not take anything but picture". Setelah puas bermain di pantai, waktunya untuk kembali. Jika anda memiliki fisik yang tangguh, tidak ada salahnya jika anda kembali memilih rute jalan kaki. Tapi jika anda sudah lelah, tidak ada salahnya juga mencoba mengendarai perahu sembari menikmati ombak samudra hindia dan memandangi tebing. Apabila anda lapar, ditempat parkir banyak penduduk sekitar yang membuka warung. Memang, harga yang ditawarkan lebih mahal daripada warung pada umumnya, tapi jika anda sudah kelaparan dan membawa uang saku lebih tidak ada salahnya mencoba kuliner setempat. Sekian.
Written By Yus. Powered by Blogger.