"Sepertinya mulai sekarang aku harus lebih menyibukkan diriku lagi. Aku tak ingin punya waktu senggang meski hanya sebentar", katanya tegas sambil menghisap batang rokoknya yang tinggal seruas jari itu.
"Loh, kenapa? Kamu nggak takut kecapekan terus sakit?", balasku heran.
"Nggak, kenapa takut? Kalau memang sudah lelah, biar saja sekalian sampai aku mampus. Aku lebih lelah harus memikirkannya setiap kali ada waktu kosong. Membuatku semakin gila dan sesak. Kamu nggak usah khawatir, aku nggak akan mati semudah itu"
Aku masih terdiam, mencerna kata-katanya barusan. Sepertinya dia memang memerlukannya.
"Tapi kamu nggak perlu sampai memaksakan dirimu begitu, masih banyak perempuan baik diluar sana yang mau menerima dan menghargaimu apa adanya", termasuk aku. Sial, yang terakhir hanya tertahan dalam nafas.
"Makasih, Sa. Kamu selalu peduli denganku. Tapi aku sudah terlalu lelah berdebat dengan hatiku sendiri, biarlah nanti hatiku membusuk lalu mati. Toh, tak akan ada yang menangisinya, kan?", dia tersenyum. Aku tahu, senyumnya terlalu dipaksakan. Jauh didalamnya, ia terluka. Apakah kamu tidak sadar, bahwa aku yang akan menangisimu. Menangisi kepergian hatimu, karena sudah terlanjur kau kunci rapat-rapat.
"Sudah malam, Sa. Aku pamit dulu", kemudian aku hanya melihat punggungnya yang menghilang ditelan pintu.
Kalau kamu hanya menjadikanku halte untuk singgah, aku tak apa
Kalau kamu hanya menjadikanku persembunyian sementaramu, aku terima
Kalau kamu hanya anggap aku tempat ceritamu, ya aku tak masalah
Sudah biasa, dan aku sudah kuat, semoga
Tapi kalau kamu menganggapku sebagai rumahmu dan tempat kembalimu, ya sudah tentu aku mau dan aku terima
Lha rejeki masa' mau ditolak, kan bodoh itu namanya


Penyair Gadungan
Pada kenyataannya, aku memang belum layak mendampingimu
Karena waktu tega menggerus semua anganku lebih dulu
Toh semua yang kuusahakan untukmu hanya kau pandang seperlunya saja
Kemudian kau berpaling dan kembali kepadanya
Ah, sampai kapanpun aku ini memang bodoh
Bodoh karena terlalu melangit
Barangkali sekarang aku takut ketinggian
Sebab sering kutaruh angan terlalu tinggi
Bahkan menatapmu pun tak ada kuasa
Hanya doa dan mimpi yang mau bersiasat
Membantuku memelukmu dalam gelap
Ternyata jauh itu bukan melulu perkara jarak
Tapi juga urusan hati dan logika
Meski kau dekat, jika pintumu memang hanya untuknya
Aku disini hanya bisa memandang dikejauhan
Karena tak mungkin kumasuk lewat jendela
Macam kucing basah yang lapar
Kuharap kau baik-baik saja disana
Kalau dia menyakitimu lagi, bilang saja
Biar aku yang hapus dukamu
Entah sampai kapan, tapi aku masih untukmu
Semoga hujan malam ini mau melunturkan sedikit anganku tentangmu
Dan membawanya hanyut jauh dibawah tempatku berdiam

Halte, Menjelang Jumat
Kuberi tahu salah satu bentuk egois:

Yaitu ketika kau terlampau mendahulukan orang lain ketimbang dirimu sendiri, bahkan dalam perkara perasaan. Lalu kau menyiksa batinmu sendiri, membiarkannya terluka hingga hatimu mati dan menjadi beku. Hati juga punya hak untuk mengecap bahagia dan belajar tentang kebaikan dari hati yang lain. Itu bukan lagi berkorban, tapi bodoh namanya.
Entah, tapi di kamusku dijelaskan seperti itu. Kalian tak suka, aku tak peduli. Terserahmu saja.

Berharap memang selalu menimbulkan luka
Dan manusia setiap hari melukai dirinya dengan harapan harapan
Maka aku disini melukai hatiku dengan berangan tentangmu
Angan yang mungkin hanya menjadi angin
Padahal aku tahu, selamanya kau hanya menginginkannya
Ia yang bahkan hanya bisa melukaimu
Dan aku disini yang membalut semua sakitmu
Maukah kau membuka mata sejenak dan menoleh kebelakang
Akan kau dapati ku tersenyum menanti
Oh biarkan, biarkan si pandir bodoh ini bernyanyi
Melagukan kekalahan telak melawan harapan
Toh lusa, hujan masih turun
Semoga, anganku luntur bersama rintiknya

Tidurlah, hari sudah larut
Sebentar lagi subuh menjelang
Tidurlah, lupakan segala penatmu
Rebahkan kepalamu di dadaku
Sisihkan sejenak dukamu
Biarkan aku mendongeng untukmu
Sebuah dongeng yang kau suka
Bermimpilah, biarkan aku yang menjaga ragamu
Akan kupeluk semua luka basah itu
Agar tetap hangat kau meski badai turun
Semoga, embun yang hinggap di bingkai dapat menyegarkanmu
Atau, biar aku saja yang membangunkanmu dengan satu kecup

Entah aku yang bodoh atau memang kau yang begitu mempesona, yang aku tahu senyum kecilmu tanpa sengaja membuat jantungku berdetak kencang. Memang tak kutemukan hal istimewa darimu, tapi kesederhanaan dan kepolosanmu mewarnai hidup telah menjadi magnet besar yang menarik hatiku kedalamnya. Maka, jika kau berkenan, bolehkah aku ikut mewarnai harimu? Maaf jika kemudian isanku terlalu lancang lantas meneriakkan namamu dipuncak gunung. Semoga kabut pagi mau membersihkan dosaku karena mengagumimu

Dalam hidup ada banyak hal yang tak bisa kita hindari. Seperti cinta dan kehilangan, misalnya. Bahwa kita tak pernah tahu bahwa cinta selalu datang tiba-tiba, sebelum akhirnya kita sadar. Dan bahwa kita tak harus memiliki untuk merasakan kehilangan. Juga kenyataan lain bahwa manusia dapat mendadak bijak ketika sedang kehilangan.

-Stasiun Kereta, Menjelang Subuh



'Setidaknya' adalah kata yang paling sering kugunakan untuk tetap bersyukur dalam memaknai setiap kehilangan, daripada mengeluhkannya. Seperti halnya denganmu, meski aku belum sempat menggenggam jemarimu. Setidaknya, pernah ada senyum yang sengaja kau bikin untukku. Setidaknya, Tuhan masih mengizinkanku jatuh cinta denganmu. Setidaknya, kau pernah memberiku kesempatan. Setidaknya kau masih mengizinkanku berjuang sampai detik ini. Dan setidaknya lagi, aku pernah punya harapan. Biarlah semua ekspektasi itu menjadi liar tiap gelap menjelma, setidaknya kau pernah begitu nyata disampingku. Dan meskipun hanya satu malam kulalui denganmu, kuharap kau abadi dalam puisiku. Terimakasih telah membuatku selalu menyebut namamu dalam setiap doa yang masih kunyanyikan hingga sekarang.
-Kota Jancuk, Ba'da Isya'

Terima kasih sudah mengizinkanku datang
Membiarkanku masuk lewat jendela kosong ditengah larut yang dingin
Maaf jika aku bertamu terlalu lama
Dan hanya bisa merepotkan
Aku hanyalah pengembara sesat
Yang dikirim semesta kepadamu
Agar kelak kau tak menghabiskan malam panjangmu sendiri
Mungkin setelah sembilan purnama nanti
Aku akan keluar
Dan menangis dihadapanmu
Aku adalah segumpal darahmu yang hidup
Dan maaf bila hadirku justru menyusahkanmu
Aku hanya tak ingin kau sendiri
Diam ditelan sepi
Susah dikoyak hidup
Terima kasih, ibu

-Malaikat Kecil
Jika bagimu rumah adalah tempat untuk kembali dan tak pergi lagi, maka bagiku rumah adalah tempat dimana aku selalu ingin kembali. Tak peduli berapa kali kau pergi, aku akan selalu rindu untuk pulang. Rumah adalah tempat untuk bernaung, dan merindu dalam kehangatan.
Bagiku, semua adalah rumahku. Entah rumah itu pernah memberiku pengalaman atau bahkan pelajaran, aku akan selalu menganggapnya rumah. Karena rumah-rumah yang pernah kusinggahi itulah yang membentukku seperti saat ini.
Begitupun kau, seseorang yang pernah merelakan hatinya untuk kutinggali, dan kujadikan rumah. Percayalah, bahkan sampai sekarang pun kau masih kuanggap sebagai rumahku, meskipun aku tahu, sudah bukan waktunya lagi aku pulang kesana.
Aku selalu mendoakan kebaikan-kebaikan untukmu, terlepas dari entah kau memang baik atau tidak. Semoga, penghuni barumu sanggup menjaga dan merawatmu lebih baik daripada yang pernah kulakukan untukmu. Sebab jika tidak, tak mungkinlah aku kembali untuk membersihkan debu yang kerontang disana. Sebab, aku bukan lagi pemilik rumah itu. Selamat pulang

Aku meringkuk diujung kamar sambil menggenggam selimut, membiarkan air mataku membanjiri kasur yang menjadi saksi hilangnya sesuatu yang aku pertahankan mati-matian seumur hidup. Ia baru berhenti setelah aku benar-benar menangis. Dan sekarang dengan mudahnya kuberikan kepadanya, walaupun pada awalnya ia yang setengah memaksa. Sekarang apa? Sudah terlambat jika aku menyesalinya, toh semua tak akan sama lagi.

"Kau tidak apa-apa jika begini?", tanyanya. Membuatku mendelik kesal. Kenapa baru sekarang ia bertanya, seolah memang ia sengaja melakukannya.

"Iya, nggak apa-apa kok", jawabku sambil menggaruk dinding yang mulai terkelupas catnya.

"Maaf, jika akhirnya aku memilihnya", bisiknya, lirih.

"Iya, tak apa. Asal, jangan kau perlakukan ia seperti kau memperlakukanku. Ia gadis baik, dan polos. Berbeda denganku, memang aku yang terlampau bodoh", lalu aku menangis lagi. Setelah semua ini, ternyata ia memang lebih memilih gadis itu. Sedang aku disini hanyalah permen karet yang sudah hilang manisnya, lalu ia buang sembarangan.

"Kumohon, jangan berkata seperti itu. Kau tak sebodoh yang kau kira", setelah itu kudengar isaknya. Oh, ternyata ia masih punya hati. Tapi tetap saja ia bajingan. Tiba-tiba aku menyesal telah berbuat baik kepadanya selama ini, dan semua hartaku, mau saja kuberikan kepadanya setiap ia memintanya, hingga sekarang tak ada lagi yang tersisa dariku. Kenapa aku sebodoh ini, Tuhan? Kenapa? Kenapa cinta begitu buta, sehingga aku tak melihat bahwa ternyata ia hanya menjadikanku bonekanya?

"Demi kau, aku akan menjaganya"

Hah, demi aku? Apanya yang demi aku? Kau sudah puas menikmatiku, mengambil semua yang kau mau, mendapatkan semua yang kau minta. Sedang aku? Aku hanya mendapat luka dan air mata karena tingkah nistamu itu. Meskipun setiap kali kau memintanya, aku selalu menyesal setelah itu.

Lalu ia berdiri menyalakan lampu, memakai baju dan celana pendek warna biru favoritnya, kemudian membuka pintu dan pergi. Meninggalkanku sendiri yang masih terisak di atas ranjang dan hanya ditutupi selimut yang belum dicuci. Samar-samar kudengar suara ayam, sudah pagi rupanya.

-Dosa Tengah Malam
Siapalah aku
Apa hebatku
Sekuat apa diriku
Tetaplah seorang hamba

Aku hanya butiran pasir di gurun tandus
Yang terbang tersapu angin
Terhanyut dalam pusaran dosa
Menjelma jadi makhluk hina

Tak peduli sekuat apa aku
Tak ku hirau sehebat apa diriku
Disini tetap saja aku hamba
Yang tunduk kepada tuannya

Tuanku lebih kuasa
Sebagai hamba aku harus patuh
Atau dibakarnya aku nanti
Disebuah tempat bernama neraka

Tuanku yang mencipta aku, kau dan mereka
Seniman terhebat sepanjang masa
Yang berhak atas semua angkuh dunia
Karena Tuanku punya kuasa

Aku hanyalah hamba yang lemah
Yang tiada berbanding dengan kuasa Nya
Aku tak pantas untuk angkuh
Karena semua itu milik Tuanku

-Sabda Jumat
Kau kira aku apa
Seenaknya datang lalu pergi
Kembali lagi sesukamu
Lalu menghilang tanpa jejak
Aku bukan haltemu
Bukan juga mainan
Aku masih punya hati
Walaupun sudah terserak dan tertiup angin
Jika menurutmu air mata itu hiburan bagimu
Pergi sajalah ke hutan
Maka kau dapati banyak air yang terjun
Tak usahlah kau kuras punyaku
Sampai kerontang tak sisa
Hingga kudaki puncak lalu teriakku
Menggema bersama seluruh sembiluku
Lalu turun menjelma hujan
Kau sudah mampir ke toko yang salah
Ia sudah lama pindah
Bertemu rumah baru yang nyaman
Bukan gudang usang seperti punyamu
Bahkan rumah hantu lebih baik
-Gadis Lugu Di Pasar Minggu

Datang dan pergi sesukamu
Bagai jelangkung yang tak pernah diundang
Hadirmu selalu mengganggu
Bagai parasit yang menempel pada inang
Wujudmu pun menjijikkan
Bagai lendir hidup yang siap memangsa tiba-tiba
Menggelayut jumawa diantara langit-langit Kau datang lalu mengganggu
Sebelum kemudian, pergi dan meninggalkan sisa
Tapi kau adalah peringatan dari alam
Bahwa aku tidak baik baik saja
Terima kasih, ingus

-Lubang Hidung, Setelah Pilek
Pagi itu, langit masih merah, bahkan fajar belum menampakkan sosoknya yang gagah dalam aroma jingga. Tapi, ia datang, dengan mata sembap dan berurai air mata menghiasi mukanya yang penuh ekspresi putus asa bercampur kecewa. Aku mempersilahkannya masuk, menyuruhnya duduk dan bernafas perlahan, agar ia merasa lebih tenang. Jika aku harus menilai seburuk apa penampilannya saat itu, mungkin kau bisa membayangkan penampilan seseorang yang baru saja melihat hantu yang ingin mencekiknya tiba-tiba, kurang lebih seperti itu.

"Dia...dia...dia sudah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku. Aku hancur", lalu tangisnya pecah tak terbendung. Ia meminjam bahuku untuk menaruh kepalanya, aku tahu pasti ini terlalu berat untuknya. Aku hanya bisa menunggu ia selesai menangis sambil mengelus rambut panjangnya.

"Sekarang aku harus bagaimana, aku orang paling bodoh dimuka bumi ini. Lebih baik aku mati saja", bisiknya kemudian.

"Jangan, cukuplah jika kau merasa bodoh. Jangan kau tambah lagi kebodohanmu dengan mengakhiri nyawamu. Memangnya kau bisa menjamin bahwa kematianmu tak lebih menderita dari hidupmu?", tatapku tajam. Mungkin aku terlalu keras padanya, tapi aku paling benci mendengar orang yang ingin mati karena alasan yang sangat konyol. Bahkan jika itu karena kau sudah terlanjur kehilangan mahkotamu.

"Maafkan aku, tapi memang tak ada yang terselesaikan hanya dengan mengakhiri hidupmu. Mungkin hidupmu memang berakhir, tapi apa kau bisa benar-benar yakin bahwa penderitaanmu ikut berakhir?", ulangku, lebih pelan dan lirih.

"Sudahlah, semuanya sudah tak akan kembali lagi. Sekarang yang bisa kau lakukan adalah tetap melangkah sebagaimana mestinya, dan buktikan kepadanya bahwa kau masih bisa bertahan dan menunjukkan jika kau kuat. Aku yakin kau pasti bisa"

"Terima kasih", lalu ia mengambil tisu dan mengelap sisa air mata yang menempel di pipi mungilnya.
"Sekarang, aku merasa lebih baik. Hahaha, rasanya aku ingin menertawakan diriku sendiri", diluar dugaanku, perempuan itu tertawa, sambil masih mengusap air mata dan ingusnya.

"Asal kau tidak berubah menjadi gila, tak masalah", dan aku ikut tertawa bersamanya.

Setelah ia puas tertawa, ia memandangku dan berbicara lirih,
"Nanti, jangan jadi laki-laki seperti dia. Cukup dia saja yang begitu, kau jangan. Aku tahu kau masih punya hati"

"Tak akan", aku tersenyum, "Aku ini memang bodoh, tapi aku bukan bajingan spertinya"
"Sekarang, kuantar kau pulang. Istirahatkan badan pikiranmu dulu, kau pasti tidak tidur semalam karenanya"

-Pagi Yang Muram
Aku masih termenung diujung jendela, memikirkan kata-katanya barusan. Entahlah, saat ini aku tak mampu berpikir jernih, dan aku memang sedang tak ingin berpikir. Apapun itu, biarkan aku menikmati hujan yang singgah di bingkai jendelaku.
Tiba-tiba dia datang dari belakangku, memegang kedua pundakku dengan lengannya yang kekar, dan langsung menciumku. Astaga, ia sanggup menghanyutkanku sedalam ini. Sejenak, aku merasa bagai perempuan paling hina, sebelum bibirku larut dalam lumatan bibirnya. Bukannya melepaskan, aku justru membalasnya dengan hangat. Ini adalah ciuman pertamaku, dan ia yang mendapatkannya. Tuhan, aku ingin menangis rasanya. Setelah melepas bibirku, aku memberanikan diri membuka mulut,
"Lalu, bagaimana dengannya?"
"Entahlah, yang penting sekarang aku bersamamu", jawabnya enteng lalu merengkuh kepalaku, menaruhnya di bahunya yang kekar.
"Apa kau juga melakukan ini dengan yang lain?"
"Iya", gumamnya ringan. Sumpah, kalau bukan karena aku mencintainya, sudah kuambil pisau di dapur dan menggoroknya. Tapi aku menikmati ciumannya.
"Jadi, menurutmu sekarang, kita ini apa?"
"Kalau aku terserah bagaimana engkau", dan ia pergi, masuk ke kamarnya lalu mematikan lampu. Meninggalkanku sendiri ditengah kalutku. Ingin rasanya aku berlari, berteriak kepada rintik hujan diluar sana. Apakah aku masih memiliki harga diri, setelah semua yang terjadi? Bodohkah aku, jika masih mengharapkan sedikit rasa darinya? Sedikit saja, tak lebih. Salahkah? Jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu. Yang kutahu hanya aku menginginkannya, tak lebih.
Tuhan, aku tak ingin menjadi Sephia abad ke-21. Kumohon, tolong aku.

-Dosa Tengah Malam
Aku tidak mengingat apa-apa lagi tentang itu. Yang kuingat hanya, waktu itu hujan, dan kopiku masih panas. Lalu, tiba-tiba kepalaku sakit dan semua menjadi gelap seketika, dan aku memilih untuk duduk di teras kesayanganku. Entahlah, semua kisah abstrak ini membuatku lelah, seolah hidupku adalah sinetron tak berujung yang episodenya bisa mencapai tiga digit.

Dia menghampiriku, lalu tiba-tiba saja menciumku hingga aku sesak. Entah apa maksudnya, tapi aku menikmatinya. Kadang aku bingung sendiri, mengapa aku mau. Padahal belum tentu ia melakukannya karena benar-benar mencintaiku, dan aku sangat tahu itu. Ya Ampun, sebodoh inikah diriku? Merelakan bibirku dilumat oleh laki-laki yang bahkan hatinya tak pernah disisakan untukku walaupun hanya sepetak.

Setelah ia selesai dan memberiku beberapa jarak, semua kembali diam. Hanya hujan dan gemuruhnya yang berbicara memenuhi langit, sisanya memilih sunyi. Sampai kapan aku terus menjadi pemuas nafsunya yang hina, menjadi boneka bernyawa hanya karena aku menginginkannya. Sedangkan ia, sedetikpun tak pernah berpikir bahwa aku menyukainya, bukan, aku sudah jatuh cinta padanya. Semua yang ada padanya, aku suka. Entah itu dengkurannya, suara baritonnya, bahkan aku suka caranya tersenyum sambil menahan kentut, entah bagaimana caranya.

Sungguh, aku menikmati setiap detik kebersamaan ini, setiap dosa yang kami ukir dilangit gelap, setiap kisah yang kami tulis di bilik 3x4 meter itu, semuanya. Tapi aku hampa, kosong. Karena aku tahu, hatinya tak akan pernah ia berikan untukku. Tiba-tiba, aku merasakan ada yang hangat dimataku, sesuatu yang menggenang dan akhirnya linang ke pipiku, aku menangis? Entahlah, lalu aku menatapnya nanar sambil berkata,

"Jadi, selama ini kau anggap aku apa?"
Dia terdiam, "Maaf", jawabnya lirih.

"Aku ini bukan mainan", kataku setengah berteriak. Air mataku tak terbendung lagi. Aku berbalik dan berlari keluar secepat mungkin, berharap tangisku luruh dibawah hujan.

"Maaf", bisiknya sekali lagi.

-Dosa Tengah Malam
Malam itu, tiba-tiba terasa begitu asing, begitu pekat. Entah, tapi seperti ada yang memancarkan aura aneh ini, begitu kuat. Kami duduk berdekatan, tapi aku merasa ia sangat jauh.

"Kau kenapa? Kok, tiba-tiba begini", tanyanya memecah sunyi.

"Aku tak apa. Memang biasanya bagaimana?", balasku ketus, sebenarnya terpaksa kulakukan. Aku hanya ingin menjaga, entah apa yang harus kujaga. Maaf jika membuatmu menjadi merasa bersalah, meskipun kenyataannya memang kau yang salah.

"Biasanya kau selalu tersenyum, ada apa?", dia masih berusaha mendekat, meski aku tahu pasti ia sangat canggung.

"Entahlah, menurutmu?", lalu aku menatapnya dalam-dalam. Seakan mampu kutelanjangi matanya, lalu ia berpaling. Sunyi kembali membawa riuh, meniup cangkir kopi kami yang masih mengepul kesana kemari. Sebenarnya, aku juga tak ingin seperti ini. Aku rindu padanya, ingin rasanya aku berdiri lalu memeluknya, menciumnya hingga aku tak bisa bernafas. Tapi, aku sadar, sampai kapanpun aku tak pernah ada di hatinya. Aku tahu, hatinya hanya tersedia untuk gadis itu, gadis berkacamata yang tinggal nun jauh diseberang pulau.

Maafkan aku, jika malam ini aku membuatmu terluka. Tapi kau tak pernah memikirkan luka-luka yang selalu kau lukis kepadaku setiap saat, dan aku harus menghentikannya. Aku lelah, setelah semua yang kau lakukan dan kukorbankan, nyatanya aku tetap tak akan pernah bisa masuk kedalam relungmu. Aku tak akan pernah menjadi rusukmu yang hilang. Bahkan, kau hanya menganggapku hiburan diwaktu senggangmu, ketika bosan mulai menjajah pikiran dan ragamu.

Aku hanya seonggok daging menjijikkan yang kau santap setiap malam, aku tahu, tapi aku juga perempuan, aku masih punya hati. Seandainya ia tahu, aku tahu apa yang akan ia rasakan.Tidakkah kau pernah berpikir tentang itu? Pasti tidak, bahkan kau tak memikirkan perasaanmu sendiri. Yang kau pentingkan hanya nafsu liarmu saja.

"Aku tidur dulu", kemudian ia bangkit, meninggalkanku sendiri bersama cangkir-cangkir yang mulai dingin. Tuhan, masih maukah Kau mengampuniku? Kau yang katanya Maha Pengampun, Maha Pengasih, dan Maha segala-galanya itu. Aku pasrah, Tuhan. Jika memang begini akhirnya, biarlah, memang semua salahku. Aku ingin menangis, berteriak saat itu juga, terserah mereka terbangun atau tidak, bukan urusanku.

"Maaf", nyatanya hanya gumaman itu yang sanggup keluar, dan linangan air mata.

-Dosa Tengah Malam
Hujan masih setia membasahi malam sepiku, membuat para pemimpi bersandar pasrah pada jemari lelap panjang. Sedangkan bayanganku masih setia menemaniku berdiri diujung bingkai basah, mendekap semua resah yang kau ciptakan lewat kata. Aku lemas, bertumpu seadanya pada sebuah ujung disana.  
Seakan tak ada lagi pagi untuk esok, setelah kau sembunyikan dibalik seimut tebalmu. Resah masih bersamaku, ia enggan beranjak karena hujan masih bertumbangan. Ingin kusiram luka yang menganga sedari pagi, setelah kau beranjak pergi bersamanya. 
Kau yang hanya meninggalkan senyuman diujung bangku lapuk di taman itu, tanpa titipan nasehat. Membuatku harus memilih terluka, tenggelam dalam kubangan gelap bernama pahit. Jika saja kau tak datang saat hujan, mungkin aku hanya akan membenci nyamuk. 
Ketika kau memilih untuk memperbaiki kisahmu, dan menggantikanku dengan ia yang bisa menggenggam tanganmu sekarang. Aku hanya mampu menggantikan hadirmu dengan kenangan yang sepotong-sepotong itu, beserta penggalan lain dari puisi yang hilang.
Semoga esok, langit masih berbaik hati membuat pagi  yang baru, untuk mengganti malam yang basah oleh rindu dari sebuah ruang. Dan burung-burung masih setia bernyanyi, menghibur seorang pemuda ringkih dari masa lalu. Agar ia sanggup berjalan lagi untuk mencari kepingan pelangi yang terisak disebuah senja.

Malam ini masih sama
Sunyi, sepi dan sendiri
Aku tak tahu harus kemana lagi
Terus berlari dalam ketidak pastian
Atau kembali, kedalam gelap tanpa ujung
Malam ini masih seperti biasa
Aku berdongeng kepada bintang
Tentang kisahmu
Tentang doaku
Semoga, jika kau kelak memandang bintang yang sama
Akan kau temukan ia bicara
Tentang dirimu dalam imajiku
Semoga, dan masih semoga
Engkau mampu mendengar suaraku
Yang luruh dari langit
Dalam tetes malam yang sejuk
Doaku, yang kau bilang mustahil itu
Adalah sebuah amin yang sedang menunggu
Kapan ia sampai kepada langit
Lalu kembali menjadi pelangi
Mungkin kelak kau akan mengerti
Bahwa semua angan tak pernah mustahil
Selama ia diberi kuasa yang sama
Untuk berkembang jadi realita
-Purnama Dibalik Mega


Aku membencimu
Sungguh aku sangat membencimu
Dengan mudahnya kau lakukan itu semua
Seakan tak berdosa setelahnya

Bagaimana aku tak membencimu
Semudah itu kau membuatku terjatuh
Mengempas jauh dalam dekapmu
Melahirkan sebuah kata bernama nyaman

Bagaimana aku tak membencimu
Bila akhirnya semua sederhanamu
Bahkan hanya sebuah senyum kecil
Bisa membuatku menginginkanmu

Sungguh aku membencimu
Dan semua cara-cara sok sederhanamu
Yang harus bertanggung jawab
Karena membuatku mencintaimu

Maaf jika aku membencimu
Tapi kau yang memintanya
Bahkan jika nanti kau pergi
Aku akan benar-benar membencimu

Mengapa semudah itu kau datang disetiap diamku
Membuyarkan semua lamunan indahku
Meskipun beberapa memang tentang kau
Tapi, gengsi lah jika kau tahu

Tatapan teduhmu sudah meronakan wajahku
Asal kau tahu saja ya
Jika aku membencimu, karena aku yakin
Benci lahir dari rahim cinta

-Penjahat Kecil

Malam ini, aku hanya memilih untuk duduk di teras, ditemani kopi favoritku. Menerawang jauh kearah rasi orion di atas sana. Kira-kira, apa yang sedang ia lakukan disana sekarang, gumamku. Sebenarnya, aku ingin bertanya langsung tentang kabarnya, dan apa yang ia lakukan seharian. Tapi, aku tak berani. Aku tak pernah punya nyali untuk itu. Bahkan, untuk sekedar mengirim pesan singkat bertuliskan "Hai" saja aku tak sanggup. Ah, dasar pengecut! Makiku kepada diriku sendiri.

Tuhan, seandainya memang ia yang Kau gariskan menjadi rusukku, mudahkanlah jalanku. Tapi jika memang bukan, kumohon jauhkan ia dari setiap mili ingatanku. Sungguh, mencintai dalam diam itu menyiksa. Saat kau kesal melihatnya bersama orang lain, tapi kau tak berhak marah. Memangnya aku ini siapa, hah? Dan kuberi tahu kau satu hal, cemburu dalam diam itu berkali-kali lebih sakit daripada cinta dalam diam. Percayalah.
Biarlah, jika memang kau jauh dari mata dan hatiku, semoga kau selalu dekat dengan setiap doaku yang kuucap untukmu. Karena yang kutahu, Tuhan lebih kuasa untuk melenyapkan jarak.
Sudah malam, sebaiknya aku tidur. Besok adalah hari yang berat, dan butuh tenaga ekstra untuk berpura-pura tegar jika aku harus bertemu dengannya.

"Ma, lupa itu sebenarnya apa?"
Mama memandangku seraya tersenyum, lalu menjawab,

"Lupa itu ketika kamu mampu mengingat semua kejadian itu dengan jelas, tanpa ada rasa sakit yang tersisa. Dalam kasusmu, itu definisi lupa yang tepat, Ndi", lalu Mama kembali lagi asyik dengan rajutannya. Aku jadi semakin tak mengerti. Maksudnya apa dengan jawabannya.

" Maksudnya, Ma?", tanyaku kemudian.
Mama berhenti, melepas kacamata bulatnya, lalu kembali menoleh dan berkata,

"Andi, bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Kalau kamu sudah bisa menerima kepergiannya, artinya kamu bisa melupakannya. Justru jika kamu memaksa untuk melupakan, maka ingatan itu akan semakin kuat menancap dipikiranmu", kemudian hening.

-Sepenggal Malam

Jangan pernah salahkan kopi, jika pada akhirnya kau dapati tiba-tiba kuberpuisi darinya

Kau tahu, sayang, ia adalah penyair terbaik

Diamnya selalu bermakna, pahitnya selalu berharga, bahkan aromanya punya irama

Ia hidup!

Sungguh, kau tak akan pernah paham, bagaimana setiap tetesnya bagai candu

Memberiku nikmat yang membunuh

Bagaikan serigala dibawah purnama

Memburu dalam genggaman pena

Menghujam rasa diatas tinta

Sebuah titah cucu adam, yang berkelana di hutan asmara

Mencari serpihan rusuk yang hilang dari sebongkah nurani yang usang

Ah, bahkan kopiku lebih nikmat daripada jatuh hati

Sudah malam, tidur sajalah

Agar esok kau sanggup mengembara, berlayar melintasi badai rindu

Biar cepat sampai kau ke rumah bumi


-Sisa Gerimis

Hadirmu menghangatkan malamku

Sepi tak bertuan disunyi yang senyap

Menatap hampa ke angkasa malam

Temani kopiku yang mulai dingin

Bersama dengan khayalku yang lalu

Lain kali ajak kawanmu

Agar lengkap kau temani menungku


-Piring Plastik

Dear hujan,
Kenapa malam ini kau tak datang
Padahal aku sudah menunggumu sedari tadi
Mendungmu saja sudah membuatku bertingkah
Gelap menawan dilangit kota

Dear hujan,
Kenapa malam ini kau tak datang
Seharian sudah aku menatimu
Menunggu tetesmu menyentuh bumi
Membuat angsa menari

Dear hujan,
Kenapa malam ini kau tak datang
Padahal banyak yang ingin kusampaikan
Terlalu banyak rasa dan warna yang tumpah
Sungguh hanya kepadamu ingin kucurah

Dear hujan,
Sampai kapanpun akan kutunggu
Ingin kubagi sepotong cerita padamu
Cerita tentang gadis diseberang
Yang mencampur perasaanku bagai gado-gado Bang Somad

Dear hujan,
Kalau kau memang tak turun disini
Kuharap kau mampir kesana
Tentramkan hatinya agar tak menyerah
Jangan lupa sampaikan salamku ya

Dear hujan,
Kalau tak sekarang atau lusa
Sungguh ingin kukatakan padanya
Semoga ia benar-benar rusukku yang hilang
Siapa tahu ia sudi menjadikanku rumah

Dear hujan,
Besok pagi mampirlah sejenak ke kotaku
Aku rindu sekali sentuhanmu
Karena kau selalu membasuh semua luka
Dan mencucinya dengan hangat

-Sabit Mendung
Selarut ini, hanya kau yang masih setia
Terjaga bersama khayalku

Sungguh, aku sadar
Dibalik pahitmu tersimpan berlapis rasa

Berirama menjalin cerita
Sebuah nestapa milik anak manusia

Bahwa harummu yang memikat
Melayangkanku jauh ke nirwana

Sebelum kelak, saat aku terjaga
Jatuhku terlalu dalam rupanya

Jika aku harus mengalah
Maka itu lebih baik daripada musnah

Pergilah, bersama dinginnya nafas ini
Agar kelak kau sadar, uap pun masih bisa menjadi embun

-Yus

Lembut sapamu mengalun merdu
Menatap asa disenja yang merah
Menghirup aroma lelah yang basah
Sisa resah dari mimpi yang terbuang

Dikeheningan kupandang lamat
Bingkai mata sebening telaga
Bayangan rindu yang resah berserak
Menyusun keping diatas jelaga

Aku pupus oleh waktu
Lenyap dalam sendu dipagi yang semu
Tenggelam dalam bayang matamu
Seperti pelangi yang menggantung diatas kelabu

Jangan serius
-Yus

Aku adalah sebuah pagi dalam rongga sepimu yang kau tatap cemas
Menopang bahu kecilmu tegak
Agar kelak kau tak terhempas
Dan jatuh dalam sebuah resah

Aku adalah selimut rindumu
Menjagamu dalam kegelapan
Mendongeng indah untukmu dalam sepi yang sunyi
Agar lepas segala penat dalam kepalamu

Rebahlah dibawah taburan bintang
Lupakan sejenak pahit dari jiwamu yang lelah
Biarkan semesta memeluk segala sakitmu
Dan hening bernyanyi dalam lelapmu

-Yus
Bahagia itu sederhana
Sesederhana bumi berputar
Pagi yang hangat
Burung yang berkicau
Sesederhana hadirmu
Beserta senyum indahmu
Yang mampu usir kelabuku
Dan warnai hariku
Sesederhana caramu
Membuatku bahagia
Dengan penerimaan apa adanya
Tanpa meminta
Sesederhana kau
Setulus cintamu
Menggenggam jemariku
Bersenandung dalam hatiku
Ajari aku
Untuk menjadi sederhana
Agar lengkap bahagiaku denganmu
Seperti katamu, bahagia itu sederhana, sayang
-Yus

Cinta memang tak memiliki mata, sayang
Tapi ia tak buta
Ia melihat dengan rasa
Jauh kedalam, menembus nadi

Lantas, mengapa mereka bilang buta
Jika mata pun tak ada
Meraba pun tak bisa
Hanya bersandar dalam lubuk

Sayangku, kuberi tahu kau satu hal
Mereka yang menuduh buta telah abai terhadap rasa
Mencari celah apapun
Menghalalkan gejolak

Mereka membunuh rasa
Membuatnya buta
Memaksa kehendak demi nikmat yang semu
Yang tak mereka sadari, membuat noda dibaju sendiri

Cinta selalu suci
Karena ia hakikat
Yang dinodai oleh mereka
Ia menjadi kelabu

Cinta selalu peka
Karena ia meraba dengan doa
Mengisi dalam senja
Memeluk lewat mimpi

-Yus

Halo pagi
Senyummu sapa cakrawala
Semburatnya bersahaja
Hangatkan raga, damaikan jiwa

Halo pagi
Hujan atau tidak, tetap ada
Bersapa diatap semesta
Pertanda hidup yang terus ada

Halo pagi
Jika lusa kau tak datang
Semoga bukan karena dendam
Apalagi malas, karena memang mustahil

Halo pagi
Hangatmu nyamankan duniaku
Sepucuk mentari mengintip dibalik tudungmu
Anggun menunduk dalam hening

Halo pagi
Jika kau datang lagi
Sampaikan segenap salamku
Kepada pemilik senyum terindah diujung senja

-Yus
Kalau kau mengharap seikat bunga
Hanya untaian kata yang kupunya

Ketika kau meminta sekotak coklat
Cuma sebaris doa yang bisa kuberi

Bila kau mencari serpihan pelangi
Sepotong hatilah yang kuberi

Nanti, kalau kau ingin berteduh
Kubangunkan rumah dari rusuk

-Yus

Aku memandang pintu
Menunggu ia terbuka
Bertanya siapa bertamu
Ternyata kau

Senyumanmu menghangatkanku
Tatapmu menenangkanku
Suaramu mengalun merdu
Tapi bukan hari ini

Kau bertanya hariku
Menyapa kabarku
Membuka lembar klasik
Mengungkit baris terakhir

Duhai, aku tak sejatuh itu
Sakitku tak berasa
Bersama dengan hati yang mati
Setelah pergimu yang tetiba

Kini, dan kau
Setelah hilangmu yang gelap
Bersama serpihan yang terserak
Bahwa mendung tak selalu hujan

-Yus

Terbangun disampingmu adalah surga tak bernama
Teduh paling anggun yang tak mampu dirangkum ahli nujum manapun
Peristirahatan terindah dari liang kalbu
Berhias puisi, berselimut rindu

Terhampar kelembutanmu disegala sisi
Terukir anggun dalam sungging
Ah, bahkan sutra pun tak akan menang
Seelok parasmu kembar purnama

Malaikat istimewa tanpa sayap nyata
Terbang dengan kuluman senyum
Menembus duka, menghapus luka
Menggenggam asa milik berdua

-Yus
Dear Penikung Hebat,

Percaya deh, kalau sekarang belum waktunya...
Suatu hari kau akan menemukan pusat semestamu sendiri.
Tak perlu iri, apalagi usik kanan kiri.


Salam,
Korban Kecelakaan
Ia kembali, menerjang bagai ombak
Menghantam setiap karang
Melempar segala buih
Menghempas perkasa

Ia turun, menghujam bagai hujan
Mengalir dalam diam
Deras kemudian menancap
Menyusup jauh ke lubuk

Tapi aku, sayang, adalah kaca
Lalu kau lempar dengan sungging
Melebur dalam serpihan
Pecahan yang terserak

-Yus
Kutulis sebuah surat
Kepada bayang ilusi
Agar tak lagi menghantui
Dalam setiap jengkal mimpi

Lembut kutepis bayangmu
Agar kau tak lagi kembali
Namun, kau dan rasamu nyata adanya
Selalu bisa kembali merasuk

Aku hanyalah ombak pantai
Yang pasang surutnya tergantung kehendak kau
Hanya pasrah dengan tarik ulurmu
Hingga pecah membelah rambut

Kepada ombak aku belajar
Setegar apapun karang menghadang, ia selalu kembali
Terima kasih kopi lanang
Kau membuat sepiku menjadi garang

-Yus
Orang bilang, bahagia itu sederhana
Bagiku, memang sederhana
Sesederhana kamu tersenyum
Sesederhana caraku mencintaimu

Orang bilang, cinta itu buta
Terjadi secara acak dan abstrak
Bagiku, memang abstrak
Makanya aku mencintaimu

Tapi, orang bilang aku ngelantur
Apalagi kamu, bilang aku mimpi
Kalau aku bilang, ini puisi
Puisi orang jatuh cinta, denganmu

Seandainya aku harus memilih
Melepasmu pergi atau menahanmu
Aku pasti akan membiarkanmu pergi, terserah
Asal aku yang antar

-Yus
Aku bukan penyair
Aku juga bukan guru bahasa
Apalagi musisi
Aku cuma mencintaimu

Jadi, maklumi saja jika aku mendekatimu
Apalagi memikirkamu
Kan, aku sedang jatuh cinta
Dan aku mencintaimu

Kalau suatu hari nanti
Kamu juga mencintaiku
Doakan, semoga besok entah lusa
Aku bisa melamarmu

Tapi, kalau kamu tidak
Ya tidak jadi
Berarti aku tahu satu hal
Kamu tidak mau makan martabak bersamaku

-Yus
Ah! Sakit
Tapi sakit itu tak seberapa
Jika bersanding dengan malu
Yang kadang iseng bertamu

Duhai, sungguh pekatnya
Malu yang mengguyur deras
Menggusur semua sakit dan perih
Hingga segala mati rasa

Duhai, betapa sakit itu tak berarti
Meskipun sebiji sawi
Sirna karena malu yang bahkan tak tertampak
Sungguh beratnya

Ah! Sakit
Tapi sakit itu tak seberapa
Jika bersanding dengan malu
Yang kadang iseng bertamu

-Yus-
Mungkin, kau sadar, atau mungkin juga tidak. Atau memang kau yang sengaja membiarkan semua terjadi sesuai kehendakmu. Entahlah, aku hanya mengikuti arusmu. Telah kusingkap semua tabir tersembunyi dalam gelapku, entah memang seperti itu nyatanya, atau sekedar gubahan hebatmu. Hal yang sengaja tak kau ungkap, bahkan setelah lenyapmu yang sekejap lalu. Tapi, entah, sedikitpun aku tak menyimpan marah padamu. Bukan hanya karena tak sanggup, pun tak ingin. Karena hanya dengan memaafkan dan merelakanmu adalah cara terbaikku untuk mendendam, dan mencintamu.

Rasa ini? Ah, biarlah ia tetap tinggal. Sepertinya ia masih betah bersemayam dalam nurani. Selamanya pun tak apa. Biarlah tetap sebesar dulu. Mungkin semua memang tak akan menjadi serumit ini kalau saja kau bukan tamu pertama. Tapi, biarlah kenangan itu bermetamorfosis perlahan, mengendap menjadi sejarah. Bahwa aku tak menyesal mencintaimu. Hanya, mengapa harus kau yang pertama?

Aku masih penasaran, kunci apa yang kau gunakan untuk membuka hati ini dulu. Bahkan, hingga kini aku masih belum mampu menutupnya serapat dulu. Masih sering bocor disana sini. Semoga kepergianmu mengajarkanku lebih banyak dari itu semua. Sepertinya aku harus mengganti dengan pintu baru.

Mungkin aku memang tek pernah menjadi tujuanmu. Tetapi pernah membuatmu tersenyum adalah sebaik-baik perjalanan.
Aku ingin menjadi angin yang selalu berhembus kemanapun kau pergi, agar aku dapat selalu mengawasimu.
Aku ingin menjadi udara yang selalu ada dimanapun kau berada. Yang selalu hadir kapanpun kau butuh.
Aku ingin menjadi matahari, yang selalu menyapamu setiap pagi. Menemani hari-hari indah dan ceriamu.
Aku ingin menjadi bulan, yang selalu hadir dalam mimpi indahmu. Menjagamu dalam lelap.
Aku ingin menjadi hujan, yang setiap tetesnya sanggup meluruhkan bebanmu, menghanyutkan sedikit dukamu. Menghapusnya, dan mengganti semua luka dengan pelangi indah di matamu.
Aku ingin menjadi bayanganmu, yang selalu setia mengikutimu kemanapun dan kapanpun. Agar kau tak merasa sendirian.
Aku ingin menjadi sofa, agar kau dapat berandar kepadaku dan mengusir segala penatmu.

Hei, apa kabar? Sedang apa disana? Kutitipkan cerita tentangmu kepada barisan bintang paling terang di angkasa malam. Aku masih disini, jika engkau berkenan untuk bertanya kabarku. Entah sampai kapan, mungkin selamanya. Sekarang, biarlah semuanya seperti ini. Mengalir tanpa alur yang pasti. Entah mengapa, kadang sesuatu yang abstrak lebih menarik untuk dilihat. Masih teringat jelas, sangat jelas bahkan, saat-saat pertama kali aku memandangimu dengan penuh senyuman. Bahkan jika ada orang yang ingin aku bercerita, aku sanggup menjabarkan setiap rincinya.

Mungkin, kita memang bukanlah "kita" lagi. Mungkin "kita" sudah kembali, engaku dengan duniamu, dan aku dengan duniaku. Aku bahkan tak ingat dunia seperti apa tempatku dulu, entahlah. Tapi, itu bukanlah alasan bagiku untuk melewatkanmu begitu saja. Mungkin kau memang sudah pergi jauh, sangat jauh. Bahkan, anginpun tak sanggup mengejarmu. Sementara aku, masih disini. Berdiri, diam dan menunggu. Entah sampai kapan, aku tak tahu. Mungkin aku sudah terbiasa menunggu, meski itu adalah sebuah ketidak pastian. Justru jika aku tak menunggu, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku pun tak tahu, sebenarnya aku ini apa. Entah ini setia, atau justru kebodohan yang tak ada habisnya. Aku tak tahu. Bagiku, keduanya hampir sama. Menunggu, dan berharap. Meskipun aku tahu, kau tak akan pernah dan tak mungkin kembali. Bahkan, untuk sekedar menengok pun rasanya sangat mustahil.

Darimu, aku belajar banyak hal. Darimu, aku akhirnya mengerti arti bahagia, dan duka. Sekarang aku mengerti apa itu luka. Aku hanya belum mengerti bagaimana menyembuhkannya.Aku tak pernah kecewa, bahkan sekedar berpikir untuk itu pun tak pernah. Justru aku harus berterima kasih, karena engkau pernah menjadi alasanku berjuang. Aku juga tak memaafkanmu, karena memang kau tak berhutang satu maaf pun kepadaku. Mungkin memang aku yang terlalu memaksakan diri.

Aku tak pernah berusaha melupakanmu, apalagi berusaha untuk menghapus semua kenangan yang pernah kita ciptakan bersama. Untuk apa? Toh kita sendiri yang menulisnya, bukan? Aku tak pernah ingin melupakan. Aku justru ingin berdamai, dengan hatiku sendiri, dan dengan segenap perasaan yang aku miliki.

Pergilah, berbahagialah. Tak perlulah kau risaukan aku lagi. Aku tak layak menerima perhatianmu. Simpanlah untuk orang yang tepat bagimu nanti, yang tak akan mengecewakanmu seperti aku. Biarlah lelaki bodoh ini menikmati sisa-sisa perasaan yang masih betah bersemayam dalam hati. Aku sedang belajar untuk merelakanmu, dengan segala sakitnya. Berat memang, tapi itu bukanlah alasan untuk menyerah, bukan? Aku memang lemah, tapi aku tak sepayah itu. Sekarang, izinkan aku untuk tetap mencintaimu, dengan pemahaman yang baru. Karena cinta itu persahabatan.

"Mawar pun akan tumbuh di tegarnya karang jika Kau menghendakinya"

Dibawah senja yang sama, 18 Maret 2016
Masih terngiang jelas suaramu dalam setiap mimpiku, bahkan bayangmu jelas tergambar. Bisikan, tangis, tawa, senandungmu, semuanya. Semua terasa jelas, sangat nyata. Ternyata, waktu memang kurang pas untuk dijadikan teman. Selalu ada kejutan dalam setiap tarikan nafas. Selalu ada misteri dibalik kedipan mata.

Ketika masa menjemput, hanya kata terlambat yang terucap. Hanya sesal yang terasa. Tapi aku sadar, semua memang ada batasnya. Mungkin inilah batasku. Mengubah pandangan menjadi kenangan. Aku sudah tahu hari ini akan datang. Namun aku tak pernah menduga ia datang secepat ini, bahkan disaat aku belum siap, dan memang tak akan pernah siap.

Setelah semua yang terjadi, aku tak menyesal. Untuk apa? Toh engkau tak akan kembali. Masa lalu bukan untuk diratapi. Ia hanyalah bagian dari sekelumit perjalanan hidup yang singkat. Sebuah warna baru dalam kisahku. Karena aku sadar, tak semua dinding sanggup ditembus. Tak semua lautan dapat diselami.

Sekarang saatnya untuk tetap melangkah, perlahan namun pasti. Melihat kedepan, dan tersenyum kepada dunia bahwa sampai detik ini aku masih mengenangmu. Aku hanya sanggup bersyukur, dan berterima kasih. Atas hadirmu dalam kisahku dan menjadi bagian darinya, dan mengajakku untuk mewarnai kisahmu. Terima kasih, untuk semua kisah yang kita tulis bersama. Untuk semua canda, tawa, luka, air mata, suka dan duka yang engkau beri. Semua yang telah enkau ajarkan kepadaku tentang arti hidup, dan membuatnya lebih bermakna. Karena pada akhirnya semua ini bukan hanya tentang berapa besar usaha untuk tetap menjaga agar terus berjalan seirama, namun juga seberapa lapang dada ini untuk menerima dan melepasmu pergi.

Selamat jalan. Aku tak pernah pergi, dan tak akan. Datanglah, kapanpun kau membutuhkanku. Aku masih akan selalu ada disini untukmu. Sekarang, dan mungkin seterusnya.
Written By Yus. Powered by Blogger.